Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Ngeri-ngeri Sedap: Sebuah Reviu dan Ngeri Kali, Bah!


Baik.

Setelah melewatkan film ini di bioskop, akhirnya saya bisa nonton Ngeri-ngeri Sedap di Netflix dengan judul MISSING HOME.

Jadi, terima kasih kepada Abang yang udah share akun Netflix. Awak jadi bisa nonton Ngeri-ngeri Sedap di hape. Nontonnya pun diangsur dalam 2 hari karena curi-curi sambil ngurus anak dan pas istirahat kerja. Ya salah banget sih. Pas adegan gongnya malah pas di kantor. Mana ni temen-temen tumben amatan balik ke meja kerja cepet, kan aing jadi ga bisa nangis cirambay. Gengsi dong.


Nangis dengan elehan

Baiklah, saya akan kasi ringkasan dulu sebelum nulis tanggapan saya ya.

 

Ringkasan Cerita

 

Judul: Ngeri-ngeri Sedap

Sutradara: Bene Dion Rajagukguk

Pemain: 

Arswendy Beningswara Nasution (Pak Domu)

Tika Panggabean (Mak Domu)

Boris Bokir Manullang (Domu)

Gita Bhebhita Butarbutar (Sarma)

Lolox (Gabe)

Indra Jegel (Sahat)

Musik: Vicky Sianipar

Tayang (bioskop): 2 Juni 2022

Tayang (Netflix): 6 Oktober 2022


Tersebutlah keluarga Batak problematik yang terdiri dari Pak Domu Purba dan Mak Domu yang memiliki 4 orang anak, Domu, Sarma, Gabe, dan Sahat. Semua anak laki-laki keluarga ini merantau, jauh dari kampung halaman. Hanya the one and only boru, Sarma yang tinggal di rumah, “menjaga Pak Domu dan Mak Domu”, orang tua mereka, serta menjadi perantara bagi saudara-saudaranya.


Keluarga Purba


Di lingkungan tempat tinggalnya, keluarga Pak Domu ini dianggap berhasil. Keempat anaknya sarjana, mapan (dalam artian punya pekerjaan), pekerjaan anak-anaknya pun dianggap baik (sama orang sekitar), aktif di gereja, pokoknya kesannya keluarga mereka ini akur sekali dan harmonis. Family goal gitu deh. Bikin sirik keluarga lain. Padahal ya itu tadi, mereka tu problematik.


Kenapa saya bilang mereka ini keluarga problematik? Ya karena masing-masing punya masalah yang dipendam begitu lama. Sebenarnya ini tipikal sih. Mau saya tulis tipikal keluarga Batak nanti dibilang rasis, tapi ya gimana, memang begitu sih.

Kok bisa tipikal Batak?

1. Bapak adalah suara utama. Bapak yang paling benar. Siapapun dan apapun gak bakal bisa ngubah pendapat Bapak di keluarga;

2. Mamak itu cuma pendamping. “CUMA”. Nurut ajalah udah;

3. Boru pun, nurut ajalah, suaramu makin hilang di keluarga. Boru tanpa sadar akan diminta mengalah, apapun keinginanmu;

4. Anak laki-laki sebagai penerus marga HARUS mengikuti tradisi!!!!


Kombinasi di atas itu ya Batak banget. Malah sebenarnya sebagian besar keluarga yang menjunjung patriarki meski bukan Batak pun akan begitu. Jadi ga mesti keluarga Batak. Makanya, Batak, patriarki, ya begitu. Tapi, ga semua keluarga Batak begitu, ya. Ada juga yang sans. Walaupun yang kayak gitu ya siap-siap jadi bahan gunjingan karena dianggap “Ga tahu adat!”


Balik lagi, saat ini Pak Domu dan Mak Domu sedang pusing. Mereka mau menyelanggarakan Sulang-sulang Pahoppu. Opung tentu ingin semua cucunya hadir, tapi para cucu yang diharap-harapkan malah ga mau balik karena ogah ketemu sama Bapaknya. Pulang ke rumah bukannya HEALING malah SINTING. Mending ga usah pulang aja sekalian. Gara-gara itu, jadilah Pak Domu punya ide gila, PURA-PURA MAU CERAI SAMA MAK DOMU biar semua anaknya pulang!




Pulang semua gak?

Domu yang lagi pusing ngurus pernikahan sama cewek Sunda, pulang.

Gabe si sarjana Hukum yang baru merintis karir menjadi pelawak, pulang.

Sahat yang lebih suka tinggal dan bekerja di Jogja, pulang.


Misi berhasil dong?



Awalnya gitu.


Ternyata, drama yang digagas Pak Domu malah jadi bumerang. Kemarahan Mak Domu beneran meledak dan akhirnya malah ketahuan kalau selama ini dia uda capek menahan emosi, capek sama kelakuan Pak Domu, capek berpura-pura gak terjadi apa-apa. Disuru apa sama Pak Domu dia nurut sampai kesabarannya sudah habis. Ketiga anak laki-laki Pak Domu akhirnya juga melawan balik dan mengungkapkan kalau mereka uda dewasa, capek sama kelakukan bapaknya yang pengen dianggap DEWA, bahwa mereka berhak memilih dan menentukan jalan hidup mereka sendiri. Gongnya, Sarma, boru kesayangan Pak Domu meledak karena udah muak direnggut mimpi-mimpi dan kebebasannya. Sarma capek karena selama ini ngalah demi ego Pak Domu dan demi kepentingan saudara laki-lakinya.


Gimana? Mantab!!!!


Tanggapan saya


Sebagai anak perempuan satu-satunya dari 4 bersaudara, perantau, yang lahir dari Ibu asli Boru Batak dan Bapak asli wong Jowo dan besar di Sumatera Barat yang sering mudik ke Padang Sidempuan, lemme write this down: I CAN RELATE!!!!!!!! Melihat relasi keluarga ini, ya saya harus akui: THIS IS BATAK, for sure.


Yang saya lihat (sebagai yang punya keluarga dari Sumatera Utara sana) beberapa keluarga saudara ya begini ini, paling sering crash sama bapaknya, dan sering kasihan sama mamaknya. Karena KEBANYAKAN, Bapak-bapak Batak itu kayak Pak Domu:


I SAID WHAT I SAID AND YOU DO WHAT I SAID!!!!


Capek ga tuh?


Tapi, respon ketiga anak laki-laki Pak Domu di sini menurut saya masih “terlalu kalem” sebagai anak. Karena biasanya, kalau uda digituin sama modelan Pak Domu lebih sering berakhir dengan Tarung Drajad! Maksudnya, sahut-sahutannya lebih heboh gitu, kadang disambung dengan adu fisik. Itu nada bicaranya masih kurang tinggi 2 oktaf lagi.


Sekali lagi, gak semua keluarga Batak begitu ya.



Soalnya begini, kita semua tahu bahwa keluarga Batak itu menganut sistem patrilineal, di mana marga akan diteruskan oleh anak laki-laki. Sehingga, memiliki anak laki-laki itu adalah sebuah prestasi. Apalagi kalau yang laki-laki itu anak pertama. Apalagi kalau anak pertama yang laki-laki itu juga punya anak pertama laki-laki. Wah, prestige sekali pokoknya. Sebuah kebanggan!!!! Makanya, besar harapan orang tua macam Pak Domu agar anak-anaknya, terutama yang laki-laki bisa benar-benar meneruskan tradisi: menikah dengan orang Batak, ikut perkumpulan marga, tahu adat Batak, tahu silsilah keluarga, dst.


Gimana coba kesalnya Pak Domu pas lihat Domu gak tahu jenis ulos mana yang harus dipakai untuk acara Opungnya. Malah keluarin ulos buat melayat. Belum lagi Sahat yang ga tahu tutur, dia ga tahu harus manggil apa ke Inangudanya/Maktuonya, malah panggil Budhe. Itu perkara sederhana yang “harusnya” semua orang Batak tahu, ga perlu diajarin lagi. Singkatnya, kalau Mamak saya bilang, “Jadi orang Batak itu, dari lahir sampai mati harus ikut adat. Gak bisa enggak!” Ga bisa ikut perkumpulan gak apa-apa, tapi minimal tahulah asal usul marga di keluarga, dan tahu yu itu ada di urutan ke berapa dalam silsilah. Ya kolo-kolo setor muka lah kalau ada acara di punguan.


Pernah loh, saya melayat ke salah satu keluarga Batak. Bapak di keluarga itu meninggal dunia dalam kondisi sudah menikahkan semua anaknya dan sudah punya cucu maka diadakanlah Saurmatua. Almarhum semasa hidup dan istrinya sangat aktif di kegiatan punguan dan dianggap tokoh di daerah tempat tinggalnya. Makanya yang melayat naujubillah jumlahnya. Di acara itu, perwakilan keluarga dan punguan/marga (yang jumlahnya banyak banget tadi itu) akan bergantian menyampaikan rasa duka, kesan terhadap almarhum, doa, dan diselipi pesan dan penghiburan untuk keluarga. Tapi yang saya dengar, sepanjang (apalah bilangnya) itu, hampir semua perwakilan yang memberikan “suara” mereka juga tak lupa “marahin” anak-anak almarhum karena dianggap “lupa tradisi”.


Maksud saya, man... bisa nanti gak sih “marahin”nya? Ini bapaknya sudah terbujur kaku di peti mati. Mata istri dan anak-anaknya uda bengep gak keru-keruan, masih dimarahin lagi??????

Saya ampe nanya sama adek saya yang kebetulan uda 5 jam lebih dulu sampai,

“Ini anak-anaknya lagi dimarahin, Dek?”

“Dari tadi, Kak. Semua ngomongnya begitu.”



Segitu kuatnya keinginan menjunjung adat. Ya memang bagus sih, mengingatkan untuk ingat asal usulnya, akarnya, keluarganya. Tapi kalau bisa, ya ini dari mata pejabat (peranakan Jawa Batak), saya rasa masih bisa loh mencari waktu lain untuk mengungkapkan itu. Kalaupun mau memanfaatkan momen, ya ga semualah. Sepakatin dulu siapa yang mau “menegur”, jadi ga perlu semuanya memborbardir.


Dalam kasus Sarma, saya bisa ngerti banget perasaannya. NGERTI BANGET!!!!! Pernah suatu masa ada seorang anak perempuan yang bercita-cita jadi penyiar radio. Karena di matanya penyiar radio itu keren, bisa menyapa banyak orang yang terkenal apalagi, bisa pergi ke banyak tempat, mencoba hal yang baru, dan yang indah-indah lainnya. Tapi Tulang si anak bilang “Ngapain jadi penyiar radio? Bukan pekerjaan itu. Kalau kata Tulang, jadi polisi aja kau, Bere. Biar bisa kubanggakan ke orang-orang. Biar ga berani orang macam-macam sama Tulangmu ini!” Bukan sekali-dua kali, tapi hampir setiap ketemu si anak ditanyain, “Jadinya kau masuk polisi, Bere?” atau “Ga usah jadi penyiar radio.” Sejak itu si anak mengubur dalam-dalam cita-citanya, dan memilih jalur aman dalam hidupnya. Pait. Nyuruh anak orang kenceng banget. Ga mau nyuruh anak sendiri aja apa???



Di sini diperlihatkan kalau Sarma, sebagai anak perempuan satu-satunya ga punya pilihan, selain menahan egonya sedemikian kerasnya atas nama menjaga keutuhan keluarga. Dia putuskan pacarnya yang orang Jawa supaya Bapaknya gak malu kalau 2 dari 4 anaknya berjodoh dengan bukan Batak. Dia ikhlaskan keinginannya masuk sekolah kuliner supaya punya pekerjaan yang dianggap settled, jadi PNS (biasalaaaaah), gak kaya Gabe yang pelawak padahal lulusan Hukum. Dia tahan impiannya merantau ke Bali dan memilih tetap di rumah karena si bungsu Sahat jelas-jelas gak mau kembali ke rumah menjaga orang tua, seperti kata tradisi.


Capek loh jadi Sarma. Saban ari mengurus orang tuanya sembari liat emak bapaknya berantem. Itu pun Bapaknya masih rewel sama keputusan anak-anaknya yang uda dewasa. Sarma juga kerja di tempat yang diinginkan Bapaknya, padahal ada mimpi yang dia lepaskan. Masih pula jadi perantara antara sodara-sodara dengan orang tuanya. Walaupun jauh di lubuk hatinya dia ikhlas dan memang ingin berbakti, tapi butuh hati yang sangat luas untuk bisa menerima kondisi dan menekan keinginannya yang membuncah untuk melihat dunia selain rumahnya. Ga ada waktu buat memikirkan diri sendiri. Domu bilang “Jangan lupa pikirkan diri sendiri ya, Dek.” Lalu ketika semua sudah tersulut emosi, Sarma bilang, “Kalau aku pikirkan diri sendiri, yang pikirkan Bapak sama Mamak siapa???” Gilak. Kebayang betapa beratnya beban yang selama ini ditanggung Sarma. Asa pengen peluk Sarma lalu bilang, “Kamu hebat, Kak”.


Nangis awak


Tambah lagi, seperti kata WatchmenID di twitter; di sini terdapat penggunaan diksi “pulang” yang rancu. Dan itu jenius! Gimana ketiga doli-doli Pak Domu ini membahasakan pulang adalah waktu mereka kembali ke tanah rantau masing-masing, bukannya pas kembali ke rumah masa kecil mereka. Bahwa rumah orang tua tak lagi menjadi tujuan mereka untuk kembali.



Hancur banget pasti hati awak kalau jadi Mak Domu.


Dulu saya, abang-abang, dan adek sempat melakukan hal yang sama, sampai Bapak bilang, “Loh, kalian pulangnya gak ke sini (rumah Bukittinggi) lagi tho?” Sejak itu, tiap kami pamit kembali ke rantau kami bilangnya, “Pergi ya, Pak, Mak.”


Akhir Kata


Sejatinya Pak Domu hanyalah seorang Ayah yang ingin melakukan dan memberikan yang terbaik (versinya) untuk anak-anaknya, untuk keluarganya. Sesebal apapun anak-anaknya sama blio, blio mengucap bahwa kebahagiaannya ya ke-empat anaknya. Sayangnya Pak Domu gak pernah menyadari bahwa cara yang ia pakai kurang sesuai dengan kondisi anaknya. Mamaknya Pak Domu aja bilang kalau cara Pak Domu mendidik dan ‘menyetir’ anak-anaknya tu uda ga relevan lagi. Itu cara kuno yang mungkin masih bisa diterapkan di zaman Pak Domu masih bujang. Untungnya, Pak Domu mau menyadari kekeliruannya dan mau berusaha menyatukan kembali keluarganya, kali ini dengan cara yang benar.


Menjaga tradisi adalah hal yang baik, tapi bukan berarti harus kaku. Zaman sudah berubah, kebiasaan pun bisa berubah. Tambahan, anak kita BUKANLAH kita. Dia adalah pribadi sendiri yang punya hasrat dan mimpinya sendiri. Arahkan mereka, jangan setir mereka (enteng banget saya nulis begini, semoga bisa saya terapkan juga). Ingatkan jika tampak gelagat kekeliruan dalam pilihan mereka. Berikan kepercayaan dengan tetap menjaga mereka dari jauh, ajarkan mereka bertanggung jawab dengan pilihan mereka (again, semoga saya ga cuma gampang menuliskan ini).


Kalaupun ada kritik sedikit, sedikit aja... Saya sejujurnya mengharapkan lebih banyak dialog dalam bahasa Batak, bukan hanya logat. Logat pun gak semua logat pemainnya buat kuping sok tahu saya ini, halus. Ketara "dibuat". Ya wajar sih. Mungkin ga semua pemain lahir dan besar di lingkungan yang masih berbahasa Batak. Yang lain? Ah, tutup mata aja lah saya. Jos!


Last but no least... View nya bagus banget. Pengen ke sana belum punya duit. Semoga bisa ke Toba suatu hari nanti.




Dan Bang Bene Dion, mantap betul eksekusinya. Ngeri kali!!!!! Bagi saya pribadi semua pesannya sampai! Ketawa, ikut esmoni, sampai air mata luber. Huhuhuhuhu...

Ditunggu karya-karya lainnya, yaaaaa..


Hormas!!!!!


Gambar dari sinisini, dan sini.




Cicilia

yang Simamora



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya