Rasa-rasanya cerita seperti ini sudah banyak bertebaran di dunia maya. Sudah awam untuk kita mengenai bagaimana orang-orang masih berusaha mencari sesuap nasi dengan cara yang adil. Di mata saya, mengemis itu curang. Karena apa? Karena (maaf) tidak ada usaha di sana. Tidak di mata saya.
Sabtu, 26 Maret 2016. Saya bersama abang dan seorang teman menaiki bis Mayasari No 34 jurusan blok M-Poris Plawad. Ada hajatan yang membawa kami hingga ke Karawaci. Saya sudah menyiapkan recehan sebanyak mungkin, karena akan ada banyak yang ngamen. Sudah dipastikan dan divalidasi. Dan benar saja. Belum ada semenit bis berjalan, seorang pengamen sudah mulai memainkan gitar, menyanyikan lagu pertama.
Bersamaan dengan itu, seorang pria paruh baya mulai berjalan menyusuri bis sambil membawa sebuah kantung plastik besar berisi jajan ringan. Dari penumpang terdepan ia mulai merogoh kantung yang dibawanya dan menaruh dagangannya di pangkuan penumpang, masing-masing satu bungkus permen jahe, kacang, dan jagung manis. Masing-masing seharga 2 ribu rupiah.
Bus itu penuh, dia membawa barang dagangan. Saya gak tahu ya, apakah berat atau tidak, tapi meringsek, menyela penumpang dan pengamen yang berdiri di lorong bus dengan membawa sesuatu yang besar menurut saya ya butuh usaha lebih. Saya memperhatikan bapak itu. Tangannya yang memegang kantung dagangan itu sepertinya kurang sempurna. Jarinya (maaf) tidak lengkap. Dagangannya sesiang itu bahkan masih banyak.
Saat kacang, permen jahe, dan jagung mendarat manis di tas yang saya pangku, tiba-tiba saya teringat kacang pedas buatan Mama saya dulu yang beliau buat sepenuh hati untuk dijual kembali di kantin sekolah.
Saat itu saya kelas 2 SMP dan setiap saya ke kantin yang saya pantau adalah dagangan Mama saya itu. Mungkin karena kacang itu adalah produk Me Too ke sekian makanya pamornya agak kurang. Seringkali saya membawa pulang nampan berisi kacang itu dan tidak berkurang satu pun. Yang saya ingat, betapa sedihnya saya, mengingat bagaimana effort Mama saya membuat kacang itu dan bahkan tidak ada satupun yang tertarik membeli? Soal rasa, jelas enak. Makanya kadang saya sengaja berdesakan di kantin sekolah demi membeli kacang itu lalu promosi ke teman-teman. Berharap mereka ikut membeli.
Keluarga kami tidak kaya, cukup lah. Tapi orang tua saya mengajarkan, butuh usaha untuk mendapatkan sesuatu, termasuk uang jajan. Kacang itu adalah salah satu cara untuk membuat saya dan abang-abang bisa punya uang jajan di sekolah.Tidak cuma kacang, Mama saya selalu berkreasi dengan es lilin, mie kuning pedas, kerupuk balado, es tebu, es kedondong, es kacang hijau, apa saja yang kira-kira menarik. Tiap sore sampai malam akan kami habiskan bergotong royong membungkus jajanan untuk besok pagi, dengan bahagia tentu saja. Maka teringat jajanan kacang itu, saya tahu betul bagaimana Bapak itu berharap jajanannya laku. Nampaknya memang bukan beliau yang membuat.
Menurut saya Bapak itu mengambil lalu dijual lagi dengan keuntungan tertentu. Ya, walaupun begitu tetap saja, harapannya adalah jajanannya laku. Bukan hanya demi bisa memberi anaknya uang jajan, tapi juga demi bisa memberi keluarganya makan. Saat Bapak itu kembali menyusuri bus dari depan untuk mengambil dagangannya yang mungkin belum diminati, saya cuma merogoh saku. Saya kembalikan permen jahenya sambil memberi 4 ribu rupiah, saya membeli kacang dan jagung manis.
Harapan saya, 4 ribu saya yang gak seberapa itu bisa membantu "memanggil" banyak "4 ribu" lainnya.
"Saya pernah secara gak langsung berada di posisi Bapak itu," gitu kata saya ke abang. Abang saya cuma mengangguk paham.
Mereka gak ngemis. Mereka berusaha untuk keluarga.
Ini pelajaran buat saya juga. Saya harusnya bersyukur masih punya pekerjaan yang baik dan dibayar dengan sangat baik. Jadi gak patut rasanya kalau saya ngeluhin hidup saya kan ya?
(Lukas 3:14 ; Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: "Dan kami, apakah yang
harus kami perbuat?" Jawab Yohanes kepada mereka: "Jangan merampas dan
jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.)
Sekian.
P.S: Makasi ya Kakak Jule, jadi editor dadakan. Hahahaha...
Cicilia Y. S.
Komentar
Posting Komentar