Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Kali Ini, Sebuah Puisi Untukmu...

Jakarta, 5 November 2014

Sejenak aku mengenang hari itu...

5 Oktober 2008
Di tengah deru angin dan hiruk pikuk jalanan Jogja, kamu ulangi lagi pertanyaan yang sama, yang sudah kamu tanyakan selama 2 minggu belakangan,

"Kamu mau jadi separuh hatiku?"

Sungguh, jujur saja, aku sangat berharap kamu melontarkan pertanyaan itu, berulang-ulang. Dan tiap kali kamu mengatakannya, rasanya jantungku siap melompat kapan saja.
Lantas dengan wajah malu di balik punggungmu, dengan tanganku dalam genggamanmu kujawab,

"Aku mau...".

Kemudian?

Selesai?

Itu saja?

Aku sungguh tak menyangka akan ada banyak kejutan yang terjadi setelah pertanyaan semi romantis darimu malam itu.

Menjalin cinta denganmu bukanlah perkara gampang. Aku sempat gelisah, karena saat itu aku diminta untuk memilih...
terus denganmu,

...atau...

tak lagi punya ibu...

Ini bukan roman picisan atau salah satu cuplikan opera sabun. Ini nyata terjadi, Saiank. Kamu tahu itu. Hubungan seorang ibu dengan darah dagingnya sedang dipertaruhkan hanya karena aku bersedia untuk menulis kisah denganmu.

Tapi Tuhan itu nyata ada, Saiank... Rekonsiliasi segera tercipta dan kami pun kembali mesra, bahkan aku bisa bercerita banyak padanya...

Meskipun begitu, ada saja yang memandangku rendah, menganggap akulah penyebab yang membuatmu melepas jubah liturgismu dan meninggalkan jalan kudusmu.
Hah!! Apalagi ini??

Mengapa jatuh cinta padamu teramat sulit?
Dilema apalagi yang harus kulewati untuk dapat melenggang bahagia bersamamu?

Sekalipun pada akhirnya bersamamu aku beroleh restu, toh nyatanya perjalanan di depan masih berliku, Saiank.
Bukan pesona badaniahmu yang membuatku jatuh hati. Mungkin hal serupalah yang membuat beberapa hawa berusaha menarik perhatianmu, memalingkan wajahmu dariku.
Aku benci mereka! Aku benci!!
Aku benci saat mereka mencoba merebut hatimu. Aku muak dengan tingkah polah mereka yang merasa amat memesona saat berada di depanmu, sekalipun aku di sana, bersamamu!
Aku menjadi tak kasatmata untuk sementara. Aku bukan siapa-siapa yang layak diajak bicara!
Aku hanya seseorang yang mampir dalam kehidupanmu, yang kebetulan bertemu denganmu.
Aku hanya seseorang yang kalah cepat berjumpa denganmu!
Aku menjadi bukan siapa-siapa saat itu...

Tapi, ayahku pernah berkata, "Saat kamu siap jatuh cinta, kamu juga harus siap untuk melepasnya pergi...".

Dan itulah, saat aku hampir menyerah dan hampir mengikhlaskan hatimu direbut wanita lain, saat aku merasa aku bukanlah gadis yang kamu harapkan, saat aku merasa aku bukanlah jawaban atas doamu, kamu justru mempererat genggamanmu dan tidak melepaskannya lagi. Kamu seolah berbisik, akulah gadis yang kamu harapkan, akulah jawaban atas doamu.

Itu cukup, Saiank...

Itu lebih dari cukup...

Saat orang-orang yang kukira teman melontarkan candaan kejam padaku, tanpa tahu apa saja yang sudah kita lewati untuk tetap bisa bersama, kamu tanpa banyak bicara menyembunyikan aku dalam dekapanmu, menutup telingaku. Hanya itu, agar aku bisa menangis sepuasnya di dadamu, melepaskan rasa kecewa pada mereka yang tak bisa memilah kata-kata, mengubah canda menjadi hina, mengorek kembali luka lama.

Dan kamu tetap bersamaku...

Kamu tak mengobral kata-kata, tapi kamu membuktikan apa yang kamu sebut dengan cinta. Hingga di hari aku harus pergi untuk melanjutkan hidupku, kamu tak berkata banyak, tak juga menghalangiku. Tidak perlu.
Kamu hanya mengecup dahiku. Bagiku, itu serupa restu.

Kamu melepasku pergi, dengan senyuman...

Terima kasih, Kekasih...

Untuk percaya bahwa aku tak akan pernah bermain hati.

Aku tidak bisa....

Karena hatiku sudah kutitipkan kepadamu, seutuhnya..

Aku tak bisa menggombal dan mengumbar kata-kata mesra. Aku terlalu malu.
Aku selalu berdoa dan berharap akan ada hari di mana aku dan kamu tak lagi dua melainkan satu.

"Tapi aku pasti akan kembali.
Dalam suatu purnama.
Untuk mempertanyakan kembali cintanya.

Bukan untuknya.
Bukan untuk siapa.

Tapi untukku.
Karena aku ingin kamu.
Itu saja..." ~ Rako Prijanto


Ya...

Karena aku ingin kamu...

Itu saja...




_Cicilia_


Komentar

  1. Cieee... Ihirr.. So sweet banget Cici. Kisah cinta yang ditulis manis & romantis :) Langgeng terus Ci :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. aduwh, Maluuu.. ihik.. amin amin raaas... Eh, aku panggilannya 'Cici' lagi ni? hahaha

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya