Aku sendirian lagi sore
ini, menunggumu, masih di tempat yang sama. Sudut kafe yang temaram, yang
selalu menjadi pelabuhan penatku untuk beberapa saat. Aku masih menunggumu,
sampai hari ini. Setidaknya aku tak benar-benar sendiri. Secangkir kopi hitam nikmat
yang masih mengepulkan asapnya dengan bahagia menemaniku saat ini. Kau belum
juga datang. Aku merindukan kecupan kilatmu di puncak kepalaku saat kau datang
dengan terburu-buru karena merasa berhutang waktu. Aku merindukan buku baru
yang selalu ingin kau pamerkan padaku. Aku merindukan tawa renyahmu di
sela-sela cerita dan kisahmu hari itu. Aku merindukan tatapan hangatmu yang
selalu bisa membuatku ingin beranjak dan menghambur memelukmu.
Aku ingat saat sebulan
yang lalu…
“Lili sayang, kamu mau
bunga apa untuk pernikahan kita nanti?” tanyamu sambil menatap daftar
bunga-bunga yang disediakan di florist itu. Hari itu, kita sedang mencari
keperluan untuk pernikahan kita yang tinggal menghitung minggu.
“Aku mau tulip, Sayang.
Pasti bagus.”
“Aduh,” keluhmu segera.
“Tulip? Kamu yakin? Memangnya di sini ada Tulip?” tanyamu lagi sambil
membetulkan kacamatamu yang mulai melorot.
“Ya, mungkin ada,”
jawabku singkat.
“Hmmm.. kita cari
alternatif ya, kalau-kalau bunga tulip yang kamu mau tidak ada di sini,” ucapmu
sambil memegang kepalaku. Ya, kau biasa memegang kepalaku dengan sangat
kebapakan, mampu menghisap segala kegundahanku dan membuatnya lenyap seketika.
“Memangnya kamu mau alternatif
apa, Sayang?”
“Melati?”
“Ih, kok horror sih…?”
tanyaku sedikit merinding. Bayangkan saja, pernikahan dengan taburan melati.
Bukan apa-apa, tapi entah mengapa, menghirup aroma melati mampu membuatku
merinding disko.
“Hahahahaha.. bercanda.
Lili..?”
“Iya, apa?”
“Bukan, Sayang.
Maksudku, kalau bunga lili, mau nggak..?” ralatmu.
“Ooohh.. Bunga lili
ya..? Wah, boleh juga Sayang.”
“Oke ya, alternatifnya
bunga lili ya. Sepakat,” kau lalu menjabat tanganku. Itu juga kebiasaanmu saat
kita menemukan kesepakatan, dalam hal apapun itu.
Hari itu kita habiskan
dengan mencari bunga, mendatangi Wedding
Organizer, jalan-jalan, nonton film gratis di persewaan VCD, dan minum kopi
di kafe favorit kita. Kita selalu duduk di tempat yang sama. Bahkan pelayan di
sini dengan sengaja meletakkan tulisan reserved,
agar tidak ada orang lain yang mendudukinya selain kita.
Aku juga masih ingat 6
tahun yang lalu…
“Halo, saya Langit.
Kamu?” sapamu saat itu. Penampilanmu terlalu rapi untuk mahasiswa semester pertengahan.
Kau menyapaku saat itu karena kita berada dalam 1 lorong loker yang sama.
“Lili,” jawabku sekenanya
dan kita berjabat tangan.
“Kamu, mau ke
perpustakaan juga?” tanyamu lagi sambil berusaha keras memuatkan ransel besarmu
ke dalam loker. Jujur saja, saat itu aku mulai tertarik padamu. Entah mengapa.
“Iya, cari tugas.”
“Oh… Jurusan apa?”
tanyamu lagi. Kali ini kau berhasil memasukkan semuanya. Kini di tanganmu
tersisa sebuah buku tebal dan sebatang pensil kayu.
“Psikologi.”
“Oh, saya jurusan
Arsitektur,” jawabmu tanpa pernah aku menanyakannya. “Baru semester 1 ya?”
tanyamu lagi.
“Iya.”
“Pantes, masi rapi
banget begitu,” ucapmu seolah kau lupa saat itu kau bahkan jauh lebih rapi
daripada petugas perpustakaan. “Saya sudah semester 5. Sudah tua.” Ucapmu
melucu.
“Ya belum tua lah,
Kak.”
“Aduh, jangan panggil
kakak. Panggil Langit saja,” pintamu dan kuiyakan dengan sebuah senyuman. Lalu
kau pamit padaku untuk masuk duluan.
Itu saat pertama aku
mengenalmu sebagai Langit, pria pertama yang mengajakku kenalan hanya karena
hendak sama-sama memasuki perpustakaan. Pria pertama yang manggunakan ‘saya’
untuk membahasakan dirimu sendiri. Pria pertama yang tak canggung menyapaku
duluan sekalipun kau sedang bersama teman-temanmu. Kau bahkan mau berhenti
sejenak demi mengajakku sekedar mengobrol. Apalah arti ‘gadis perpustakaan’,
istilahmu tentangku saat itu, sehingga kau mau meninggalkan gerombolanmu dan
mengobrol denganku.
Saat-saat muda itu
sudah lewat. Aku bahkan tak berharap akan bertemu lagi denganmu saat
kelulusanmu yang jelas lebih dulu dan sangat jelas akan memisahkan kita.
Memisahkan? Lucu aku berkata kita akan berpisah, karena toh saat itu kita
‘hanya’ teman, teman yang secara tak sengaja bertemu di lorong loker
perpustakaan. Jujur saja, waktu itu aku sudah menyukaimu. Sekalipun
teman-temanku dengan kejam mengatakan kau adalah makhluk purbakala (entah apa
korelasinya), karena kau selalu mengenakan kemeja rapi, kacamata tanpa bingkai,
dan rambutmu yang menurut mereka klimis, nerd,
tapi menurutku, sungguh, saat itu kau luar biasa tampan dan menarik. Ya, kita
bahkan seolah dipertemukan dalam situasi yang sama. Kita bertemu lagi secara
tak sengaja di perpustakaan kota, dalam kondisi yang sama, saat kau hendak
menyurukkan tasmu yang besar ke dalam loker. Saat itu kau sudah semakin rapi,
dengan blazer hitammu dan kacamata tanpa bingkai, sementara aku, mendekap semua
keperluan skripsiku dan kau masih menyapa ramah padaku, seolah kita sudah
sering bertemu di tempat itu.
Kita tak punya tanggal
resmi pacaran, semua mengalir begitu saja. Setiap kali aku bertanya apa status
kita saat itu, kau tak pernah menjawab dengan jelas. Kau hanya tersenyum,
mengerling padaku dengan tatapan yang mampu meluluhlantakan pertahananku, lalu
memberiku kecupan hangat di puncak kepalaku. Itu lebih dari cukup untukku.
“Sudah lama, Sayang?”
sebuah suara menyapaku dan menyadarkanku dari lamunan. “Maaf ya, biasa, meeting mendadak,” dan sebuah kecupan
hangat mendarat di puncak kepalaku.
“Iya,” jawabku singkat.
Kau selalu berhasil membuatku mengagumimu. Aku bahkan jadi lupa sudah berapa
lama aku menunggumu di sini.
“Lihat, aku punya buku
baru dong..,” ucapmu memamerkan sebuah buku tebal tentang arsitektur.
Kita lalu mulai
bertukar cerita tentang hari itu, seperti biasa, di tempat yang sama, dengan
hidangan yang sama, dan aku tak lagi sendirian sore ini.
Yogyakarta, 19 Mei 2012
_cici_
Komentar
Posting Komentar