Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Suatu Sore Bersamamu


Aku sendirian lagi sore ini, menunggumu, masih di tempat yang sama. Sudut kafe yang temaram, yang selalu menjadi pelabuhan penatku untuk beberapa saat. Aku masih menunggumu, sampai hari ini. Setidaknya aku tak benar-benar sendiri. Secangkir kopi hitam nikmat yang masih mengepulkan asapnya dengan bahagia menemaniku saat ini. Kau belum juga datang. Aku merindukan kecupan kilatmu di puncak kepalaku saat kau datang dengan terburu-buru karena merasa berhutang waktu. Aku merindukan buku baru yang selalu ingin kau pamerkan padaku. Aku merindukan tawa renyahmu di sela-sela cerita dan kisahmu hari itu. Aku merindukan tatapan hangatmu yang selalu bisa membuatku ingin beranjak dan menghambur memelukmu.
Aku ingat saat sebulan yang lalu…
“Lili sayang, kamu mau bunga apa untuk pernikahan kita nanti?” tanyamu sambil menatap daftar bunga-bunga yang disediakan di florist itu. Hari itu, kita sedang mencari keperluan untuk pernikahan kita yang tinggal menghitung minggu.
“Aku mau tulip, Sayang. Pasti bagus.”
“Aduh,” keluhmu segera. “Tulip? Kamu yakin? Memangnya di sini ada Tulip?” tanyamu lagi sambil membetulkan kacamatamu yang mulai melorot.
“Ya, mungkin ada,” jawabku singkat.
“Hmmm.. kita cari alternatif ya, kalau-kalau bunga tulip yang kamu mau tidak ada di sini,” ucapmu sambil memegang kepalaku. Ya, kau biasa memegang kepalaku dengan sangat kebapakan, mampu menghisap segala kegundahanku dan membuatnya lenyap seketika.
“Memangnya kamu mau alternatif apa, Sayang?”
“Melati?”
“Ih, kok horror sih…?” tanyaku sedikit merinding. Bayangkan saja, pernikahan dengan taburan melati. Bukan apa-apa, tapi entah mengapa, menghirup aroma melati mampu membuatku merinding disko.
“Hahahahaha.. bercanda. Lili..?”
“Iya, apa?”
“Bukan, Sayang. Maksudku, kalau bunga lili, mau nggak..?” ralatmu.
“Ooohh.. Bunga lili ya..? Wah, boleh juga Sayang.”
“Oke ya, alternatifnya bunga lili ya. Sepakat,” kau lalu menjabat tanganku. Itu juga kebiasaanmu saat kita menemukan kesepakatan, dalam hal apapun itu.
Hari itu kita habiskan dengan mencari bunga, mendatangi Wedding Organizer, jalan-jalan, nonton film gratis di persewaan VCD, dan minum kopi di kafe favorit kita. Kita selalu duduk di tempat yang sama. Bahkan pelayan di sini dengan sengaja meletakkan tulisan reserved, agar tidak ada orang lain yang mendudukinya selain kita.
Aku juga masih ingat 6 tahun yang lalu…
“Halo, saya Langit. Kamu?” sapamu saat itu. Penampilanmu terlalu rapi untuk mahasiswa semester pertengahan. Kau menyapaku saat itu karena kita berada dalam 1 lorong loker yang sama.
“Lili,” jawabku sekenanya dan kita berjabat tangan.
“Kamu, mau ke perpustakaan juga?” tanyamu lagi sambil berusaha keras memuatkan ransel besarmu ke dalam loker. Jujur saja, saat itu aku mulai tertarik padamu. Entah mengapa.
“Iya, cari tugas.”
“Oh… Jurusan apa?” tanyamu lagi. Kali ini kau berhasil memasukkan semuanya. Kini di tanganmu tersisa sebuah buku tebal dan sebatang pensil kayu.
“Psikologi.”
“Oh, saya jurusan Arsitektur,” jawabmu tanpa pernah aku menanyakannya. “Baru semester 1 ya?” tanyamu lagi.
“Iya.”
“Pantes, masi rapi banget begitu,” ucapmu seolah kau lupa saat itu kau bahkan jauh lebih rapi daripada petugas perpustakaan. “Saya sudah semester 5. Sudah tua.” Ucapmu melucu.
“Ya belum tua lah, Kak.”
“Aduh, jangan panggil kakak. Panggil Langit saja,” pintamu dan kuiyakan dengan sebuah senyuman. Lalu kau pamit padaku untuk masuk duluan.
Itu saat pertama aku mengenalmu sebagai Langit, pria pertama yang mengajakku kenalan hanya karena hendak sama-sama memasuki perpustakaan. Pria pertama yang manggunakan ‘saya’ untuk membahasakan dirimu sendiri. Pria pertama yang tak canggung menyapaku duluan sekalipun kau sedang bersama teman-temanmu. Kau bahkan mau berhenti sejenak demi mengajakku sekedar mengobrol. Apalah arti ‘gadis perpustakaan’, istilahmu tentangku saat itu, sehingga kau mau meninggalkan gerombolanmu dan mengobrol denganku.
Saat-saat muda itu sudah lewat. Aku bahkan tak berharap akan bertemu lagi denganmu saat kelulusanmu yang jelas lebih dulu dan sangat jelas akan memisahkan kita. Memisahkan? Lucu aku berkata kita akan berpisah, karena toh saat itu kita ‘hanya’ teman, teman yang secara tak sengaja bertemu di lorong loker perpustakaan. Jujur saja, waktu itu aku sudah menyukaimu. Sekalipun teman-temanku dengan kejam mengatakan kau adalah makhluk purbakala (entah apa korelasinya), karena kau selalu mengenakan kemeja rapi, kacamata tanpa bingkai, dan rambutmu yang menurut mereka klimis, nerd, tapi menurutku, sungguh, saat itu kau luar biasa tampan dan menarik. Ya, kita bahkan seolah dipertemukan dalam situasi yang sama. Kita bertemu lagi secara tak sengaja di perpustakaan kota, dalam kondisi yang sama, saat kau hendak menyurukkan tasmu yang besar ke dalam loker. Saat itu kau sudah semakin rapi, dengan blazer hitammu dan kacamata tanpa bingkai, sementara aku, mendekap semua keperluan skripsiku dan kau masih menyapa ramah padaku, seolah kita sudah sering bertemu di tempat itu.
Kita tak punya tanggal resmi pacaran, semua mengalir begitu saja. Setiap kali aku bertanya apa status kita saat itu, kau tak pernah menjawab dengan jelas. Kau hanya tersenyum, mengerling padaku dengan tatapan yang mampu meluluhlantakan pertahananku, lalu memberiku kecupan hangat di puncak kepalaku. Itu lebih dari cukup untukku.
“Sudah lama, Sayang?” sebuah suara menyapaku dan menyadarkanku dari lamunan. “Maaf ya, biasa, meeting mendadak,” dan sebuah kecupan hangat mendarat di puncak kepalaku.
“Iya,” jawabku singkat. Kau selalu berhasil membuatku mengagumimu. Aku bahkan jadi lupa sudah berapa lama aku menunggumu di sini.
“Lihat, aku punya buku baru dong..,” ucapmu memamerkan sebuah buku tebal tentang arsitektur.
Kita lalu mulai bertukar cerita tentang hari itu, seperti biasa, di tempat yang sama, dengan hidangan yang sama, dan aku tak lagi sendirian sore ini.




Yogyakarta, 19 Mei 2012





_cici_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya