Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Belajar Menghadapi Anak Tantrum Biar Nggak Ikutan Tantrum, Bersama Ibupedia




"Jadi orang tua itu bukan cuma pekerjaan hamil 9 bulan 10 hari,

itu pekerjaan seumur hidup" -Ibunya Dara; Dua Garis Biru


Dalam dunia kefarmasian ada yang disebut dengan Ten Stars Pharmacist, yang isinya:

1. Pharmaceutical Care Giver

2. Researcher

3. Manager

4. Communicator

5. Leader

6. Life-long learner

7. Decision maker

8. Enterpreneur

9. Teacher

10. Agent of Positive Change

 

Sebagai farmasis, saya dituntut untuk belajar sepanjang hayat guna menyempurnakan apa yang saya kerjakan. Dan sejalan dengan kata ibunya Dara di film Dua Garis Biru, maka menjadi orang tua pun harus mau belajar seumur hidup, karena benar, menjadi orang tua adalah pekerjaan seumur hidup.

Jadi orang tua itu tidak ada sekolahnya, tidak ada gelar profesionalnya, tidak ada hari liburnya, tapi ilmunya harus selalu upgrade, latihan dan PRnya banyak banget, ditambah kudu siap diuji berulang kali.

Saya dulu ditanya sama teman saya, “Di umur berapa kamu bisa bilang ‘Ya, saya sudah siap jadi orang tua’?”

Saya jawab, “Sampai sekarang kalau saya ditanya apa saya sudah siap jadi orang tua, mungkin akan saya jawab ‘Nggak tahu’. Karena memang saya nggak tahu kapan persisnya saya siap jadi orang tua.”

Saya memang berstatus orang tua. Saya punya seorang anak laki-laki berusia hampir 3 tahun, yang sedang amat sangat sehat dan lincah. Loncat sana loncat sini. Lari sana lari sini. Tanya ini tanya itu. Buang ini lempar itu. Tenaganya seakan nggak pernah habis. Saat ini dia sedang (dalam istilah saya) bijak-bijaknya. Semua ditanya, “Itu apa, Ma? Kenapa jadi begitu, Ma? Mama mau ke mana? Kok rambut Mama panjang? Kok Papa cuci baju? Kok Mama kerja? Kok Mbah sudah tua? Kok kentut bau? Kok kalau malam bobok?” dan jutaan pertanyaan lainnya yang saya dan suami sudah hampir putus asa dalam menjawab. Tapi kami usahakan untuk menjawab semampunya, kan nggak boleh bohong kan ya…

Tidak cuma banyak bertanya karena rasa ingin tahunya sedang tinggi-tingginya, anak ini juga sedang banyak tingkah yang rasanya bikin semua organ dalam saya naik ke tenggorokan. Mulai dari tidak mau makan, tidak mau mandi, dibilangi apapun jawabnya “Enggak”, dikasih apapun malah dilempar kembali, dan tentu saja; TANTRUM.

Behold




Saya kira tantrum hanyalah mitos untuk anak saya karena hingga umur setahun lebih sedikit ia masih tampak manis, menggemaskan, dan penurut. Ternyata saya salah, Alfredo! Di usia 18 bulan dia mulai menunjukkan pada kami apa itu tantrum.

Tantrumnya anak saya itu lebih sering ke menangis meraung-raung, kadang dibarengi memukul.

Kayak gini

Pemicunya tidak pasti. Bahkan kadang menurut kami sebagai orang tua pemicunya remeh sekali. Pernah dia menangis meraung-raung karena saya gendong paksa pulang dari rumah tetangga. Sudah jam 9 malam, ini anak nggak ada tanda-tanda mau pulang, saya dan Papanya sudah ngantuk. Okelah, saat itu saya pikir itu murni kesalahan saya. Kedua kalinya ia tantrum adalah karena saya mengganti baju saya setelah mandi! Dia bilang saya tidak boleh ganti baju, harus pakai baju yang tadi. Padahal saat itu cuaca sedang panas dan keringat bercucuran tanpa henti. Baju saya sudah basah dan bau keringat. Ternyata sama dia nggak boleh, dan akhirnya dia menangis gak keruan selama hampir setengah jam. Remeh, kan alasannya?

Memang tidak sering, tapi tentu saya dan suami sebagai orang tuanya merasa perlu tahu apakah yang anak saya lakukan ini masih dalam tahap wajar atau kami harus khawatir. Karena ada beberapa teman yang cerita kalau mereka akhirnya membawa anak mereka ke dokter karena merasa tantrumnya anak mereka sudah di level meresahkan.

 

Apa itu Tantrum?

Menurut Fetch dan Jacobson:

Temper tantrums are a common behavior problem in preschool children who may express their anger by lying on the floor, kicking, screaming, and occasionally holding their breath . Tantrums are natural, especially in children who are not yet able to use words to express their frustrations.

Ada kelegaan tersendiri ketika membaca ini. Dikatakan bahwa anak tantrum itu adalah sesuatu yang alamiah dan wajar. Tantrum adalah cara mereka mengekspresikan diri dan emosi karena mereka belum bisa menjelaskan emosi mereka dengan sempurna. Output-nya adalah, anak akan berteriak, menangis, memukul, menendang, melempar, berguling di lantai, dan menahan nafas, dalam bahasa sederhananya adalah memancing perhatian orang tua.

Tantrum umumnya terjadi pada anak usia 2-3 tahun. Pada usia ini anak sudah bisa memahami kepemilikan dan keinginan akan sesuatu, tapi belum cukup paham cara memuaskan keinginan mereka. Anak pengen A, tapi orang tua pikir pengen B, tidak sinkron. Jadinya ya si anak mere-mere deh.

Huwaaaaaa

Selain itu pemicu utama tantrum pada anak adalah ketika orang tua tidak mengabulkan keinginannya. Misalnya anak minta es krim terus orang tuanya bilang “Tidak boleh”, si anak bakal ngamuk dan tantrum. Harapan mereka adalah, dengan tantrum, orang tua akan luluh, menyerah, dan akhirnya mengabulkan permintaan mereka. Apalagi kalau anak tantrum di tempat umum! Sungguh pada kondisi begini orang tua diuji kesabaran dan ketebalan mukanya. Harus siap di-judge dan ditonton orang banyak. Kalau sudah begini, tinggal kuat-kuatan deh, siapa yang ‘menang’: Kesabaran orang tuanya atau teriakan anaknya. 


Apa sih Penyebab Tantrum?

Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, tantrum bisa terjadi karena anak tidak mendapatkan keinginannya. Tapi penyebab besarnya ternyata tidak sesederhana itu. Masih menurut Fetch and Jacobson, pada beberapa kasus, tantrum adalah gejala adanya masalah dalam keluarga seperti; inkosistensi orang tua dalam mendisiplinkan anak, orang tua yang terlalu protektif atau sebaliknya, terlalu cuek, kurang kasih sayang, orang tua tidak akur, atau masalah penyakit. Tapi, bisa jadi juga penyebab anak tantrum adalah hal yang sangat wajar, seperti kelelahan dan kelaparan.


Lapar bikin embuh


Bagaimana Mengatasi Anak Tantrum?

Seperti kata ibunya Dara di film Dua Garis Biru tentang bagaimana menjadi orang tua, maka saya dan suami saya juga harus banyak belajar, salah satunya mencari cara bagaimana menghadapi anak tantrum. Karena sudah puyeng baca jurnal di kantor, tentu saya memilih untuk cari artikel parenting yang bahasanya lebih santai dan mudah dicerna. Biar saya nggak ikutan tantrum.

Salah satu artikel yang saya dan suami baca adalah dari Ibupedia ini.

Menghadapi anak saat tantrum itu tidak mudah, dan tidak ada satu artikel pun yang mengatakan kalau itu mudah. Setiap orang tua harus sabar dan tawakal. Saya dan suami beberapa kali mencoba menerapkan isi artikel tersebut. Ya benar saja, tidak mudah, tapi berikut hal-hal yang kami, sebagai orang tua, lakukan saat menghadapi anak yang tantrum. Cekidot:

 

1. Sabar

Ya ‘kan. Poin pertama langsung; Sabar. Ini tidak mudah kan ya Buibu. Rasanya keinginan untuk ikut tantrum itu kadang lebih menggoda. Sabar. Mari kita terapkan lagi latihan pernapasan saat mau melahirkan anak yang lagi tantrum di depan kita ini. Tarik napas… Hembuskan… Tarik napas… Hembuskan…

Melihat anak ngamuk nggak karuan jelas memancing emosi saya. Maka, saya harus berusaha sekuat mungkin untuk sabar. Atur napas dan segera ambil jarak dengan anak. Biasanya, suami saya mengambil bagian supervisi dan tidak menginterupsi apapun. Suami akan lihat dulu, anak saya mau sama saya atau sama dia. Ini menjadi Rencana A dan Rencana B di antara kami. Sekaligus, suami menjadi back-up saya selama anak kami melancarkan jurus tantrumnya.

Sabar ini penting sekali Buibu dan Pakbapak. Emosi bisa membuat tindakan dan ucapan kita jadi tidak terkendali. Daripada menyesal nantinya, please, sabar. Mari sekali lagi, tarik napas… Hembuskan…

 

2. We Are The Parents!

Bukan sebagai bentuk supremasi sih, melainkan untuk mengingatkan kembali bahwa yang sudah dewasa itu ya kami, ya kita, orang tuanya. Selain itu untuk menunjukkan ke anak kalau saya itu Mamamu. Kami ini orangtuamu. Maka sebagai orang tuanya, kita harus menunjukkan bahwa kita konsisten dengan ucapan kita. No means No! Jangan menyerah dengan mudah. Yes, THIS IS WAR!!!!

Maka, tunjukkan pada anak, bahwa “Teriakanmu tidak akan membuatku tunduk, hai Anak Muda”.


No means No!


3. Gunakan Time Out

Ini dulu saya tonton juga di beberapa acara tentang parenting, Nanny 911 kalau nggak salah, tapi di Returns of Superman juga ada:



Ada kesempatan di mana anak juga perlu dihukum, istilahnya time out; waktu tertentu di area tertentu untuk merenungi perbuatannya. Bukan dikunci di dalam ruangan sih ya, tapi misalnya, dudukkan dia di pojokan kamar sampai dia tenang. Atau bawa anak di suatu area dan tidak boleh keluar dari area itu jika masih mengamuk. Tujuannya adalah supaya anak merenungi perbuatannya. Supaya dia tahu apa yang dia lakukan itu salah.


Mutung


Kalau saya, saya angkat anak saya dan saya berdirikan dia di pojokan ruang tamu, lalu saya tunggu sampai dia setidaknya sudah terlihat tidak ada hasrat memukul-mukul lagi. Mau menangis kayak apa, kalau masih berusaha memukul, tidak akan saya biarkan dia beranjak dari pojokan ‘hukuman’nya itu.

Tapi jangan lupa, tetap awasi anak saat time out, ya Buibu dan Pakbapak.

 

4. Ajak Bicara

Tantrum tidak akan berlangsung selamanya, Bund. Akan ada waktunya anak capek dan akhirnya datang sendiri untuk minta peluk. Ketika anak sudah tenang, dekati, beri pelukan, lalu ajak dia bicara. Jangan ajak bicara saat anak masih ngamuk, percuma. Bagaimana kalau anak tantrum di tempat umum? Bawa ia ke tempat yang cukup sepi, parkiran mobil misalnya. Jangan kasih penonton. Makin jadi sih biasanya. Di sana, tunggu anak sampai tenang.

Ketika bicara, validasikan perasaannya. Kenapa ia marah? Kenapa kita tidak mengabulkan permintaannya? Minta maaf bila ternyata kitalah yang tidak bisa mengerti keinginannya sehingga ia tantrum. Minta maaf pada anak menunjukkan bahwa orang tua pun bisa salah.

I am sorry


Ini bagian yang cukup melegakan untuk saya saat dia sudah mulai berkurang tangisnya lalu keluar dari area ‘hukuman’nya, memanggil, “Mama…”, sambil merentangkan tangan. Biasanya saya peluk, saya usap-usap punggungnya sampai benar-benar reda tangisannya. Kasihan juga, sih.

Setelah sudah tidak menangis dan saya beri minum, baru kami bicara kenapa permintaannya tidak saya kabulkan, kenapa dia saya ‘hukum’ berdiri di pojok, apakah dia masih kesal sama saya, sampai akhirnya kami saling minta maaf. Yes, dia minta maaf karena sudah tantrum, saya minta maaf karena salah paham atau karena sudah meng’hukum’ dia.

 

5. Katakan ‘I Love You

Ini adalah penutup yang manis. Beri anak pelukan dan bilang kalau kita tetap menyayanginya, semarah apapun dia tadi. Tunjukkan bahwa tantrumnya tidak akan mengurangi rasa sayang orang tua kepada anak. Saya paling suka bagian ini. Sungguh. Ini adalah tahapan di mana saya memeluk anak saya dengan erat, lalu saya ucapkan, “I love you”. Anak saya yang masih berusaha mengucapkan kembali Bahasa Inggris dengan benar akan menjawab, “Alacu, Ma.” Hih, gemes. Habis itu kami main lagi deh.


Uluuu tayang tayang


Tidak ada orang tua yang sempurna. Maka sebagai orang tua harus perlu banyak belajar. Apakah semua yang saya jabarkan di atas selalu berhasil? Ya tidak juga. Tapi dengan itu kami sebagai orang tuanya belajar. Tidak ada alasan untuk tidak belajar. Ilmu parenting banyak di dunia maya dan nyata. Tinggal kita sebagai orang tuanya harus pintar memilih dan memilah sumber informasinya. Salah satu sumber belajar yang bisa diakses kapan saja adalah Ibupedia.

 

Kenapa Ibupedia?

Ibupedia adalah website yang dirilis pada tahun 2013 dengan visi misi menjadi “Pusat Informasi Seputar Kehamilan, Ibu, dan Anak”.

Buat ibu-ibu seperti saya, yang juga karyawati yang seharian duduk menatap layar terpaku untuk online seperti kata Saykoji, Ibupedia adalah salah satu hiburan saya saat tengah penat dengan pekerjaan. Artikel-artikelnya disajikan dengan bahasa yang amat ringan, mudah dicerna, bisa diakses kapan saja.

Untuk ibu-ibu yang lebih doyan scroll instagram, jangan sedih. Ibu-ibu nggak bakalan ketinggalan informasi. Ibupedia tetap menyajikan informasi singkat, padat, dan jelas dalam bentuk infografis dalam setiap postingannya di @ibupedia_id (di-follow ya Ibu-ibu).



Belajar bersama Ibupedia


Ibu lebih suka video? Jangan sedih. Ibupedia juga ada di Youtube, kok. Atau Bunda termasuk warga Twitter? Ya juga ada, kuy lah follow Twitternya Ibupedia.


Mampir Youtube ayo..





Tidak hanya artikel dan postingan infografis yang bermanfaat, Ibupedia juga sering mengadakan bincang-bincang interaktif terkait tumbuh kembang anak dan parenting dengan menghadirkan narasumber dan praktisi yang kompeten di bidangnya. Terakhir Ibupedia bekerjasama dengan Huawei mengadakan Live Instagram dengan tema, “Yuk, Ciptakan Hubungan yang Sehat Antara Si Kecil dan Gadget”. Tuh, bisa dapat ilmu sambil ngopi.

Jadi para orang tua, parenting memang bukan hal yang mudah untuk siapapun. Bahkan ketika kita sudah menjadi orang tua, kita akan di-challenge lebih jauh untuk membuktikan bahwa kita pantas mendapat predikat orang tua bukan semata-mata karena kita sudah memiliki anak. Perbanyak ilmu dan belajar dari kesalahan menjadi cara untuk menjadi orang tua yang lebih baik, setidaknya dibandingkan diri kita sendiri di hari kemarin.




disclaimer: tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition "Sharing Your Parenting Story" yang diselenggarakan oleh Ibupedia.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya