Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Born 82: Kim Ji Young (82년생 김지영)

Annyeonghaseyo.
Akhirnya saya menulis lagi.
Mohon maaf kalau berantakan, sudah lama gak nulis dan jujur saja butuh waktu yang cukup lama untuk menulis lagi. Kayaknya karena saya udah jarang membaca jadi mau menulis saja kok sulitnya minta ampun.

Dan setelah cukup lama menjadi draft, saya tuntaskan tulisan ini, silakan....

***




Born 82: Kim Ji Young (82년생 김지영)
Penulis: Cho Nam-Joo
Sutradara: Kim Do-Young
Pemeran: Jung Yu-Mi; Gong Yoo
Rilis: 2019 (Korea Selatan)
 

Pertama, sungguh terlambat saya menulis tentang film ini karena baik buku maupun filmnya sudah heboh sejak tahun lalu. Kedua, saya akan mengabaikan betapa bapakable-nya Gong Yoo di film ini. Karena walalupun beliau masih single dan belum jadi bapak, auranya sebagai bapak itu dapet banget. Aslik aktingnya keren abis. Ketiga, saya sudah baca bukunya dan eksekusinya secara visual bagi saya (kalau kata Demian), sempurna.

Film Born 82: Kim Ji-young (82년생 김지영) ini pertama kali saya nonton ini di tvN Movies. Lalu karena saya pengen tonton berulang-ulang, saya cari link film bajakannya (ah, maafkan saya ya). Dan sampai sejauh ini, saya sih belum bosan sama film ini.

Terbaru, saya akhirnya bisa nonton lagi film ini di aplikasi Viu. Bahagia saya.

 

dok pribadi

 

KEHIDUPAN KIM JI-YEONG

Sesuai judulnya, film ini berpusat pada Kim Ji-yeong (Kim Ji-young), yang diperankan oleh Jung Yu-mi, seorang ibu rumah tangga, memiliki suami yang luar biasa baik dan sayang padanya serta seorang putri yang cantik dan menggemaskan. Seperti kebanyakan wanita di Korea Selatan sana (dan mungkin di sini juga), setelah menikah dan punya anak Kim Ji-yeong kemudian memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, melepaskan karirnya di sebuah perusahaan publikasi di mana kapabilitasnya diakui, melepaskan mimpinya menjadi wanita karir, demi membesarkan putrinya, dan melayani suaminya.

Kim Ji-yeong adalah cerminan manusia biasa yang sempat kecewa tidak terpilih ke dalam tim perencanaan di tempat ia bekerja dengan alasan karena ia seorang perempuan; ia akan menikah, hamil, cuti, dan biasanya mengundurkan diri. Padahal, karyawan laki-laki yang terpilih justru enggak begitu seneng terpilih. Padahal kemampuan Ji-yeong lebih baik daripada rekan kerja lainnya yang laki-laki. Ji-yeong tahu, dia akan memberikan yang terbaik jika saja ia terpilih.

Kim Ji-yeong adalah selayaknya wanita pada umumnya yang dengan kemampuannya berusaha tetap bahagia dan membahagiakan orang-orang di sekitarnya. Membahagiakan keluarga suaminya. Membahagiakan keluarganya. Membahagiakan dirinya sendiri. Namun Kim Ji-yeong sebagai manusia adalah makhluk yang bisa terluka dan kecewa. Kecewa saat apa yang diusahakannya justru tidak diapresiasi, kecewa saat disalahkan saat mengalami pelecehan, kecewa saat dianggap menghabiskan uang suami, lelah secara fisik dan mental. Dan pada akhirnya, Kim Ji-yeong depresi.

Apa yang dialami Ji-yeong sejatinya adalah post partum depression. Yes, di film dan di buku ini diceritakan bahwa Kim Ji-yeong depresi. Karena beratnya tuntutan terhadap perempuan di Korea Selatan yang terkenal menjunjung tinggi patriarki. Ji-yeong depresi karena beratnya tuntutan terhadap dirinya dari lingkungan terdekatnya, keluarga. Ia menjadi orang lain karena tahu ia tidak bisa melawan ‘budaya’ itu dengan menjadi seorang Kim Ji-yeong. Ia menjadi orang lain untuk bisa menyuarakan isi hatinya sendiri. Dan karena itu, Kim Ji-yeong dianggap gila.

 

JADI IBU ITU GAK BOLEH CAPEK!

Hal-hal yang diangkat di film ini sejatinya sangat erat dengan kebanyakan wanita di belahan dunia mana pun yang masih menjunjung tinggi patriarki. Contoh, ketika Jung Dae-hyun (Gong Yoo) bilang mereka gak usah mudik ke Busan (tempat orang tua Jung Dae-hyun) aja ketika hari raya dengan alasan jauh dan bakal capek. Ji-yeong langsung membantah dan bilang, “Kalau kita gak pulang ke rumahmu, yang bakal disalahkan bukan kamu, tapi aku”.

Dae-hyun gak bisa membantah karena memang seperti itu yang akan terjadi. Sebeneranya, sebagai suami, Dae-hyun tahu kalau Ji-yeong capek banget dan butuh istirahat. Sejatinya niat tersirat Jung Dae Hyun adalah “menggantikan istrinya” di rumah, sementara Ji-yeong bisa benar-benar beristirahat. Sementara penolakan Ji-yeong terhadap usul tersebut karena takut dianggap “gak berbakti” sama mertua. Dae-hyun mungkin benar suami terbaik yang pernah diharapkan Ji-yeong, tapi Ibu Dae-hyun mungkin adalah contoh sempurna bagaimana Ibu mertua bisa saja menjadi mimpi buruk bagi setiap menantu perempuan.

Lain lagi ketika Ji-yeong tengah menikmati waktu istirahat ditemani segelas kopi sembari mengajak jalan-jalan putrinya di taman, ada segelintir karyawan single ngenes (kesel bat aing) yang kebetulan ada di dekat Ji-yeong. Sambil ngobrol ngalor ngidul mereka membahas betapa bahagia dan enaknya jadi Ibu Rumah Tangga. Soalnya mereka bisa ngabisin duit yang uda susah payah dikumpulin suami buat ngupi-ngupi cantik. Meskipun omongan itu gak ditujukan langsung buat Ji-yeong, tapi Ji-yeong jelas tersinggung. Ji-yeong memandang kopi yang baru ia nikmati dan akhirnya memilih langsung cabs dari taman. Kalo ai mungkin ai ajak berantem dulu tu orang, minimal, ai sepak tulang keringnya, baru pergi. Saya yakin, dada Ji-yeong sesak mendengarkan betapa mudahnya mereka menilai ‘Ibu Rumah Tangga’ dari apa yang mereka lihat di luar.

 

PELECEHAN TERJADI KARENA KORBANNYA YANG MEMANCING PELAKU!

Masalah pelecehan juga diangkat di film ini. Misalnya ketika Ji-yeong teringat dulu sepulang les hampir dilecehkan oleh ‘teman’ satu tempat lesnya. Yang bikin ngenes, yang menolong dan menenangkan Ji-yeong justru seorang ibu, orang asing, yang kebetulan aja juga menumpang bis yang sama, dan yang bela-belain menyusul Ji-yeong turun dari bis karena membaca gelagat gak beres dari siswa brengsek itu dan dari Ji-yeong sendiri. Sementara Ayah Ji-yeong?? Ya seperti kebanyakan manusia suci di dunia, malah menyalahkan Ji-yeong dengan bilang tempat les nya terlalu jauh lah, rok seragamnya Ji-yeong terlalu pendek lah. Ini bapaknya Ji-yeong loh. Bapak kandungnya! Anaknya hampir dilecehkan. Malah anaknya yang disalahkan. Dasar bapak gendeng!!!

Masalah tersebut mengingatkan kita kalau perempuan yang mengalami pelecehan justru lebih sering disalahkan balik daripada dibela. Sudah berapa korban perkosaan yang justru disalahkan dan dianggap justru mereka lah yang ‘mengundang’ si pemerkosanya. Pelaku pelecehan seharusnya dibuat malu biar jera. Seperti yang dilakukan kakak Kim Ji-yeong, Kim Eun-yeong (ini ada di bukunya). Kim Eun-yeong bersama teman-temannya berhasil meringkus eksibionis yang sering mengganggu siswi di sekolah mereka. Hasilnya? Manusia gila itu memang ditangkap, tapi terusannya malah Kim Eun-yeong cs juga ikutan dihukum, karena dianggap bikin malu sekolah.

 

MEMBAHAGIAKAN IBU MERTUA

Lain lagi dengan permasalahan dengan keluarga suami. Sudah rahasia umum, walau gak semua begitu, kalau menantu perempuan biasanya rikuh kalau berada di rumah keluarga dari pihak suami. Waktu mereka mudik ke Busan, gak ada istilahnya Ji-yeong buat leha-leha. Dia juga ikutan mruput, ikutan masak besar sama ibu mertua, bahkan masih sibuk di dapur sementara mertua, anak, dan suaminya sudah duduk-duduk gembira di ruang keluarga.

Ji-yeong yang melihat mereka semua uda asik makan buah merasa iri. Dia sebenarnya capek, dia juga mau santai-santai, mau menikmati liburan, tapi ‘gak enak’ sama mertuanya. Soalnya Ji-yeong merasa sebagai anak perempuan (Ji-yeong gak tahu kalau adek perempuan Dae-hyun bakal pulang juga) dia ‘wajib’ membantu ibu mertuanya masak besar, bersih-bersih, dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Waktu adek perempuan Dae-hyun akhirnya datang, ibu mertua Ji-yeong juga nyuruh dia buat melayani adek Dae-hyun, padahal si adek bilang, “Aku bisa sendiri, Bu.”

Ji-yeong yang lelah jiwa raga akhirnya kepancing pas Ibu Mertuanya bilang ke adek Dae Hyun yang datang belakangan, “Kamu santai aja, kan kamu lagi gak di rumah mertuamu”. Pada moment inilah mertua Ji-yeong akhirnya melihat “Ji-yeong yang lain”.

 

PAKSAAN UNTUK PEREMPUAN

Born 1982: Kim Ji-yeong adalah cerminan dari hukum tidak tertulis bahwa wanita itu harusnya di rumah aja, gak perlu kerja cari duit, gak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan harus bisa melahirkan anak laki-laki. Familiar sekali bukan?

Kira-kira begini:

1.  Keluarga itu harus punya anak laki-laki sebagai penerus.

Siapa yang stress kalau ada keharusan macam ini? Ya perempuan lah. Yang hamil kan perempuan. Anak perempuan itu kesannya tidak seberharga anak laki-laki. Kalaupun ada anak perempuan di rumah, semata-mata hanya untuk jadi pembantu.

“Kenapa Masmu yang cuci piring?”

“Kenapa Masmu yang gosok bajunya?”

“Kenapa Adekmu yang nyapu?”

“Mereka kan laki-laki.”

So what kalau mereka laki-laki?

Apakah laki-laki gak boleh mengerjakan pekerjaan rumah? Kan mereka juga tinggal di situ.

 

2.  Gak perlu kerja, di rumah aja, jaga anak. Kamu adalah ibu yang buruk kalau membiarkan anakmu tumbuh dewasa di tangan orang lain sementara kamu asyik mengejar karir.

“Kamu kok masih kerja, Mbak? Suamimu kan uda kerja. Duitmu kurang?”

“Gak kasihan sama anakmu dititipin tiap hari? Nanti dia lupa sama ibunya baru tahu rasa.”

Orang-orang suka berpikiran bahwa seorang Ibu gak seharusnya berkarir. Kenapa pertanyaan serupa gak ditanyakan ke seorang Bapak yang berkarir? Karena laki-laki ditakdirkan untuk mencari nafkah dan wanita yang menjaga rumah? Apakah ini masih zaman berburu dan meramu?

Wanita bekerja dengan beragam alasan. Untuk membantu perekonomian, untuk terus belajar, untuk mewujudkan cita-cita, dan yang penting untuk tetap merasa hidup!

 

3. Kamu juga gak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh pas udah nikah nanti kamu tetep bakal jadi Ibu Rumah Tangga ‘aja’.

Ibu adalah pendidik pertama bagi seorang anak. Dan gak ada istilahnya CUMA IBU RUMAH TANGGA. Jadi Ibu Rumah Tangga itu melelahkan, kerjaannya gak habis-habis, masih dicibir juga. Seorang Ibu Rumah Tangga harus berpendidikan tinggi untuk memberikan wawasan untuk anaknya. Jadi, apakah seorang wanita harus berpendidikan? Ya! HARUS!!!

 

Sedihnya, pandangan-pandangan yang sebenarnya merugikan perempuan ini ya datang dari perempuan sendiri. Perempuan-perempuan ini diwakilkan dengan sangat apik oleh ibu mertua Ji-yeong, nenek Ji-yeong dari pihak ayah, dan salah satu bibi Ji-yeong. Contohnya, ibu mertua Ji-yeong. Bagi beliau, urusan dapur itu adalah urusan perempuan. Lihat aja reaksinya pas Dae-hyun mau urun bantuan mencuci piring yang sudah menumpuk (walaupun uda dikode-kode jangan sama Ji-yeong), malah nyindir Ji-yeong, “Ji-yeong beruntung sekali dapat suami yang sangat baik”. Males banget gak sih? Apa salahnya suami nyuci piring? Apakah itu sesuatu yang wow? Yang harus dikasih hadiah? Hanya karena dia laki-laki?

Sementara wanita-wanita berpikiran terbuka diwakilkan dengan luar biasa oleh Oh Min-suk (Ibu Ji-yeong), Kim Eun-yeong (kakak Ji-yeong), dan Ketua Kim (mantan atasan Ji-yeong). Oh Min-suk yang dulu merelakan cita-citanya demi membantu menyekolahkan saudara-saudaranya ,terang-terangan bilang kalau Ji-yeong harus menikmati hidupnya, lakukan yang dia mau. Dia tidak ingin Ji-yeong mengalami yang ia alami. Sementara Kim Eun-yeong menunjukkan kalau wanita punya kemerdekaan atas pilihannya mau menikah atau melajang. Dan Ketua Kim menunjukkan kalau wanita juga bisa memimpin.

 

POST PARTUM DEPRESSION (PPD)

Sebenarnya Kim Ji-yeong ini menunjukkan gejala depresi pasca melahirkan (Post Partum Depression). Wanita, melahirkan, dan depresi. Tiga hal ini sangat berkaitan. Sudah terlalu banyak kasus terkait hal itu, bahkan hingga berujung kematian, entah kematian ibu atau kematian anak, atau kematian keduanya. Depresi pasca melahirkan itu riil, nyata, dan terjadi di sekitar kita. Wanita seperti ini butuh bantuan, bukan penghakiman. Yang ia butuhkan adalah psikolog, perhatian, dan teman yang mengerti. Bukan hujatan, anggapan kurang iman, dan pembandingan, “Anakku lebih banyak. Hidupku lebih susah dari kamu. Tapi dulu aku gak gitu. Kamu tuh kurang dekat ke Tuhan”, semacam itu.

Daya tahan manusia yang satu dengan yang lain itu berbeda. Depresi bukan berarti seseorang itu lemah. Seorang ibu rumah tangga yang depresi dan berjuang menyuarakan isi hati dan kebutuhannya untuk memiliki “me time” bukan berarti dia lemah dan egois. Bukan berarti dia gak sayang anak. Bukan berarti dia gak sayang suami. Bukan berarti dia gak hormat sama orang tua. Dia sayang. Sayang mereka semua. Saking sayangnya sama mereka semua, dia nyaris lupa untuk menyayangi diri sendiri.

Nonton film dan baca buku ini membuat saya turut merasakan kesedihan dan kekecewaan yang dialami Kim Ji-yeong. Saya bisa merasakan kelelahannya saat mengasuh anak, bersih-bersih rumah, tanpa putus. Saya bisa merasakan keinginannya untuk kembali menjadi dirinya yang dulu, yang rapi, bekerja, kreatif, punya uang sendiri, punya cita-cita. Saya bisa merasakan kesedihannya yang sebenarnya lelah tapi gak bisa mengeluh, gak bisa istirahat karena ia lelah sehabis mengerjakan “pekerjaan seorang Ibu Rumah Tangga”. Paling sedih pas Ji-yeong meluk anaknya sambil nangis habis mertuanya marah-marah ke Ji-yeong dan bilang kalau Ji-yeong egois hanya karena dia ingin kembali bekerja dan suaminya bersedia mengambil cuti panjang demi mendukung karir Ji-yeong. Saya ikut nangis sih di sini.


Sing sabar yo, Mbak

Kim Ji-yeong yang syantik, suaminya baik dan pengertian, anaknya manis dan pinter, mamanya berpikiran terbuka, dan tinggal di negara maju pun bisa mengalami depresi pasca melahirkan. Artinya, depresi pasca melahirkan itu nyata, bisa dialami ibu manapun. Yang saban hari terlihat lucu dan haha hihi belum tentu bahagia, dia bisa saja menyimpan luka. Kita gak tahu.

Saya gak bilang kalau wanita adalah makhluk paling menderita sedunia dan laki-laki adalah makhluk penindas yang kejam. Laki-laki atau perempuan memiliki ‘peperangan’nya masing-masing. Laki-laki mungkin bergelut dengan “toxic masculinity” dan wanita dengan pilihan hidupnya yang selalu akan keliru di mata orang. Namun dalam hal Kim Ji-yeong, memang sangat jelas menunjukkan bagaimana wanita sungguh ditekan atas nama budaya. Bagaimana wanita dituntut sempurna dan cukup menjalani satu peran saja seumur hidupnya.

Born 82: Kim Ji-yeong adalah gambaran bahwa patriarki yang sesungguhnya dipupuk subur oleh wanita itu sendiri. Sedih ya? Tapi ya memang begitulah kenyataannya.



_Cicilia_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya