Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Meresapi Kembali "Jogjakarta"-nya Kla Project di tahun 2017

Jakarta, di tengah usaha membangkitkan semangat kerja.

Jogjakarta tempat saya menghabiskan 8 tahun masa muda.
Belum lama, tapi gak bisa dibilang 8 tahun adalah waktu yang singkat untuk saya yang melankolis amit-amit dan menangis selama seminggu full karena harus hijrah ke ibukota demi sebongkah berlian. Dan Puji Tuhan saat long weekend kemarin saya masih diberi rezeki untuk kembali bernostalgi(l)a di kota ini. 

Izinkan saya mengenang dan memaknai Kota Pelajar saksi hidup masa ababil saya ini bersama lagu Jogjakarta dari Kla Project.

Tugu, iya, motoinnya pas miring

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja

Pada akhirnya saya turun di stasiun Jogja (a.k.a: Tugu) setelah beberapa kali naik kereta Senja Utama Solo dari Jakarta saya harus menahan diri untuk gak loncat saja dari kereta saat berhenti si stasiun ini dan gak jadi turun di stasiun terakhir. Dan memang, rasa haru itu masih ada ketika saya kembali menjejakkan kaki di Jogja. Lebay amat yak?
Ya, mau gimana Gan. Memang itu yang saya rasakan tiap kali menghirup udara pagi di Jogja.

Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila

Kalau ini, hampir gak relevan lagi rasanya. Mengingat sekarang yang tumbuh di Jogja adalah tempat nongkrong kekinan nan Instagram-able macam Kalimilk (menjual minuman beraroma susu, dan kurang banyak presentase susu murninya), Tempo Gelato, Roaster and Bear, dan tempat-tempat nongkrong unyu lainnya yang berserakan, literally berserakan di Jogja. Dan tempat makan mahal macam Holycow mulai tumbuh di kota pelajar yang tadinya dikenal "5000 perak sudah kenyang!". Masih ada kok penjaja sajian khas dengan orang-orangnya duduk bersila. Hanya mungkin tak berjaya di linimasa media sosial.
Kaki Lima?
Bintang Lima mungkin yang berjaya sekarang.

Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, ditelan deru kotamu

Mas Katon mungkin sedang meramal masa depan Jogja saat membuat lagu ini.
Saya gak masalah sama pengamen, tapi kalau pengamennya datang silih berganti tanpa henti kok ya gengges juga. Harga makannya malah kalah sama ngasih ke pengamennya. Yaelaaah...
Di kawasan Malioboro, ada sebuah hotel (Hotel Mutiara kalau tidak salah). Dulu, di bagian akses jalan (menuju Mall Malioboro kalau dari arah 0 km) ada sosok musisi jalanan yang (maaf) tuna netra, memainkan 1 set angklung dan tamborin (dikaitkan di kakinya). Beliau memainkan lagu-lagu tradisional. Waktu SMA saya sering melihat beliau, sesekali memasukkan sedikit uang untuk beliau. Pernah saya lihat beliau sedang tertidur di dekat alat musikya. Dan kemarin Adik saya bilang "Aku gak pernah lihat bapak itu lagi, Kak. Apa kalah sama yang ini ya?" sambil menunjuk kelompok musik yang lebih muda, segar, dan hingar.
Saya menjawab sekaligus berharap, "Mungkin kalau pagi sampai siang Bapak itu masih di situ, kalau malam mereka yang main, kan udah pada tutup tokonya."
Adik saya bilang, "Iya, semoga begitu."
Saya sungguh berharap Bapak itu tak tengah merintih sendiri, ditelan deru kotamu. Ditelan arus tuntutan entertainment yang lebih kekinian, yang mungkin tidak bisa ia lawan.

Walau kini kau tlah tiada akan kembali

Iya, buat saya ini adalah Jogja yang pelan-pelan sudah berubah.
Hotel dan Mall menjamur, menyisakan warga dan pemukiman yang kekeringan sumur, barang-barang branded mulai terpenetrasi, Jogja menjadi tujuan bukan untuk sekedar berlibur, tapi untuk mendapatkan foto yang hits. La gimana? Di Jakarta kalau main ke mall, masak ya ke Jogja mainnya ke mall lagi? Lah apa bedanya?? Mau wisata alam, isinya cuma alay-alay bersangu tongsis yang ribut tiada henti dan cerewet setengah mati dan berfoto beratus kali. Pergi ke Malioboro, penuh sama manusia ndeso yang rebutan foto di bawah plang "Jalan Malioboro".
Ngantre foto

Ke cafe pun isinya manusia yang tak bisa lepas dari gawainya. Upload teruuuuusssss..

 Namun kotamu hadirkan senyummu abadi

Izinkanlah aku untuk slalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tiada terobati

Still, ada titik-titik di Jogja di mana saya bisa menemukan kedamaian.
Tempat di mana saya menjadi orang yang pasrah penuh pada semesta dan bersyukur masih menemukan sapa dan tawa membahana di Jogja. Bersyukur saya masih diterima sebagai diri saya seutuhnya, dengan senyum dan tangan terbuka, dan boleh kembali kapan saja.

Sekalipun Jogja sudah nyaris berubah rupa, saya masih mencintai Jogja.
Jadi, saya mau titip pesan buat para pendatang, semoga kalian masih ingat dan paham kalau "Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Kalian itu, saya itu, tamu. Yang sopan di rumah orang lain. Jaga sikap.  Jangan urakan gitu loh ah. Kampungan!
Saya juga titip pesan buat pemilik Jogja Scrummy yang majang foto Mas Dude, Om, walaupun balihomu sudah ganti jadi launching carrot cake apalah itu, saya masih ingat tulisan di baliho itu waktu belum ganti, "Oleh-oleh khas Jogja gak cuma Bakpia", gitu kira-kira. Ya, saya ini apalah, masih kroco di Ibukota, tapi, silakan berinovasi, silakan jadikan Scrummy sebagai oleh-oleh dari Jogja, tapi jangan tanamkan kalau itu adalah OLEH-OLEH KHAS JOGJA! Jangan Om, saya minta tolong sanget.

Dan buat Vidi Aldiano, maaf ya Mas Vidi, saya kok sebel dengar kamu nyanyi lagu Jogjakarta-nya Kla Project ya. Too much. Lebay! Aslik lebay!

Buat pembaca sekalian yang budiman, saya memang nyinyir dan sensian. Pasti ada yang membatin, "Lebay amat sih Mbak ini"; atau "Biasa aja kaliiiik"; atau "Namanya juga modernisasi, wajar lah...", ya, benar. Saya tidak bisa memungkiri hal itu. Bagaimana pun Jogja dan manusia di dalamnya harus menggeliat mengikuti perkembangan zaman, untuk bertahan. Tapi, beberapa kali saya berpikir kalau ini bukan Jogja yang saya kenal dan rindukan. Sisi egois saya ingin Jogja bertahan seperti saat saya jatuh cinta pada kota ini.
Ya, saya memang posesif untuk hal-hal yang saya cintai.

Dan Jogja salah satunya, hal yang saya cintai.




Cicilia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya