Aku melirik jam di ponselku. Sudah
jam 10 malam. Vina masih asyik membaca novelnya di tempat tidurku. Dia memang
suka menumpang baca di kamarku. Menurutnya kamarku lebih sejuk dan suasananya
cocok untuk membaca.
“Vin,” panggilku.
“Hm..?” Vina mengangkat wajahnya
dari novel yang sedang dibacanya.
“Udah malem, loh,” ujarku. Aku juga sudah lelah, aku mau tidur.
“Maaf ya, An. Kelamaan di sini jadinya,” Vina mulai mengemasi novel-novel yang
dibawanya. Wajahnya menunjukkan keengganan. Pelan-pelam dia bangkit, beranjak
menuju pintu, lalu berbalik, “besok malam boleh ke sini lagi, An?”
“Iya, boleh,” jawabku.
“Thank you. Malam, Ana,” Vina pamit dan segera menuju kamarnya yang
berada persis di seberang kamarku.
Vina adalah sepupuku. Ayahnya dan
ibuku adalah kakak beradik. Orang tuaku meninggal 10 tahun yang lalu dalam
kecelakaan pesawat. Saat itu aku tidak ikut karena mereka melakukan perjalanan
bisnis.
“Dua hari lahi Ayah sama Ibu udah di rumah lagi,” begitu kata Ibu
padaku saat mereka berpamitan, Mereka meyakinkanku untuk tidak ikut serta.
Istilah Ibu saat itu, “Jadwalnya padat, lho.
Ana nggak bakal sempat jalan-jalan.”
Aku mengiyakan bujukan Ibu. Selama
mereka pergi, aku dititipkan di rumah Vina. Tidak pernah terbayangkan bahwa
hari itu adalah hari terakhir aku memeluk Ibu dan Ayah. Dan sejak itu, aku
tinggal bersama keluarga Vina, keluarga Om Reno.
Aku menghela nafas. Sudah 10 tahun
dan aku tetap masih merindukan Ibu dan Ayah. Bagaimanaoun, aku tetap bersyukur.
Om Reno dan Tabte Vani baik padaku. Mereka memperlakukanku sebagaimana mereka
memperlakukan Vina. Ya, Tuhan masih sayang padaku. Aku mematikan lampu kamar,
berdoa, lalu merebahkan badan. Aku memejamkan mata dan tertidur.
***
Tok…Tok…Tok…
“Ana..,” Vina sudah mengetuk pintu
kamarku. Berarti dia akan menumpang membaca lagi, seperti biasa.
“Iya, “ aku bangkit dan membuka
pintu.
“Numpang lagi, ya?” kali ini dia membawa 5 novel tebal.
Aku tersenyum dan Vina mengikutiku
masuk ke kamarku. Vina mengambil tempat di pojok tempat tidurku. Ia menyusun
tumoukan novel yang ia bawa, mengambil novel teratas, dan mulai membaca.
“Vina,” panggilku.
“Iya,” jawabnya.
“Kenapa sih kamu nggak betah baca
novel di kamarmu> Aku heran aja sih.
Bentuk kamar kita kan sama. Kamarmu malah lebih rapi daripada kamarku.”
“Hmm,” Vina menghela nafas, “Aku
suka beca novel di sini. Adem.”
“Vin,” aku memanggilnya lagi. Vina
mengangkat wajahnya. Ia tahu, kali ini aku butuh lebih dari ‘kamar adem’,
‘lebih fokus’, dan jawaban ngeles lainnya.
Kali ini Vina tampak ragu.
“Aku tuh takut, An. Kadang-kadang dia muncul. Ngeliatin aku. Kadang-kadang berdiri di belakangku. Belakangan ini
makin sering. Wajahnya, An. Wajahnya!” Vina histeris lalu menutup wajahnya
dengan tangan.
“Siapa?” tanyaku.
“Dia,” jawab Vina. Lalu Vina
menceritakan kapan ia pertama kali melihat ‘dia’. Bagaimana ‘dia’, tiba-tiba
tampak di belakang Vina saat ia bercermin. Bagaimana ‘dia’ menggantung di
langit-langit menatap Vina semalaman, membuatnya tidak bisa tidur. Mungkin itu
sebabnya aku sering mendapati Vina dalam keadaan lesu dan pucat karena kurang
tidur. Bagaimana Vina mulai terbiasa dengan adanya ‘dia’, namun sungguh, Vina
berharap tidak melihat ‘dia’ lagi. Itulah sebabnya mengapa Vina lebih suka
membaca di kamarku. “Ada temannya, An,” katanya. Ada aku. Setidaknya dia tidak
sendirian.
“Sebenarnya, An, ‘dia’ selalu ikut
ke sini,” Vina melihatku serius, “itu, di sebelahmu.”
Reflek, aku melihat ke kanan dan
kiri. “Vina!” seruku, “enggak ada hantu atau ‘dia’ atau apala h itu di rumah
ini, di kamar ini, di kamarmu. Itu cuma imajinasmu. Kamu harus mulai ngurangin baca novel serem. Nggak baik buat pikiran, oke??”
Vina tersenyum. Ia melihat ke arah
kananku dan senyumnya menghilang. Segera ia menekuni novelnya lagi.
Takut-takut, aku melihat ke arah kananku. Tidak ada apa-apa. Aku menghela
nafas. Aku yakin itu perasannya saja.
Sejak malam itu, Vina mulai jarang
berkunjung ke kamarku. Ia lebih sering membaca di lorong, di depan kamarnya.
Vina juga menunjukkan gelagat aneh setiap kali berbicara denganku. Ia tampak
gelisah, tidak pernah melihat wajahku, melainkan melihat ke arah belakangku,
seolah-olah ada seseorang di sana. Bahkan beberapa malam terakhir kulihat Tante
Vani masuk ke kamar Vina, menemaninya tidur.
Sudah dua minggu sejak kunjungan
terakhir Vina ke kamarku. Aku jadi merasa bersalah. Mungkin dia benar-benar
takut. Sepertinya ini giliranku yang berkunjung ke kamarnya. Kuambil beberapa
novel kesukaanku, lalu mampir sebentar ke dapur mengambil beberapa kudapan, dan
aku beranjak ke kamar Vina. Kulihat pintu kamar Vina terbuka sedikit. Kudorong
pintu kamarnya dan aku mendapati Vina sedang tepekur di meja belajarnya.
Tampaknya sedang asyik membaca novel, seperti biasa.
“Hei,” sapaku sambil menepuk pelan
bahunya.
“Vina mengangkat wajahnya. Ia
tampaknya pucat dan lelah, tapi masih berusaha tersenyum padaku.
“Kamu sakit, Vin?” tanyaku.
“Enggak kok. Mungkin karena kurang tidur,” jawabnya.
“Dia… datang lagi?” aku bertanya
ragu-ragu.
“Iya. Di sini semalaman. Aku nggak berani keluar. Cuma bisa tutupan
selimut sampai pagi,” ujarnya lagi.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh
kamar Vina. Tidak ada apa-apa. Kuletakkan bawaanku di tempat tidurnya.
Kuperiksa kolong, kuperiksa lemarinya, terakhir kulihat ke atas, ke
langit-langit. Nihil. Akhirnya kunyalakan lampu kamarnya karena sudah mulai
gelap.
“Oh iya, jadi pinjam Rectoverso-nya?”
kuganti topic pembicaraan, “aku ambil dulu, ya?”
“ Iya,” ujar Vina tersenyum.
Aku segera kembali ke kamar untuk
mengambil novel yang hendak dipinjam Vina. Kubuka pintu kamar dan menyalakan
lampu. Saat itu juga kurasakan jantungku berhenti, tubuhku gemetar. Seseorang
duduk memeluk lutut di tempat tidurku. Ketakutan.
“Ana, dia datang lagi. Ana..
tolong… tutup.. pintunya… aku… takut…”
Membatu, pandanganku tak bisa
lepas dari sosok yang tengah ketakutan di tempat tidurku.
Vina…
Selesai.
Cicilia Yunilitaayu
Komentar
Posting Komentar