Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

"Vina?"




Aku melirik jam di ponselku. Sudah jam 10 malam. Vina masih asyik membaca novelnya di tempat tidurku. Dia memang suka menumpang baca di kamarku. Menurutnya kamarku lebih sejuk dan suasananya cocok untuk membaca.
“Vin,” panggilku.
“Hm..?” Vina mengangkat wajahnya dari novel yang sedang dibacanya.
Udah malem, loh,” ujarku. Aku juga sudah lelah, aku mau tidur.
“Maaf ya, An. Kelamaan di sini jadinya,” Vina mulai mengemasi novel-novel yang dibawanya. Wajahnya menunjukkan keengganan. Pelan-pelam dia bangkit, beranjak menuju pintu, lalu berbalik, “besok malam boleh ke sini lagi, An?”
“Iya, boleh,” jawabku.
Thank you. Malam, Ana,” Vina pamit dan segera menuju kamarnya yang berada persis di seberang kamarku.
Vina adalah sepupuku. Ayahnya dan ibuku adalah kakak beradik. Orang tuaku meninggal 10 tahun yang lalu dalam kecelakaan pesawat. Saat itu aku tidak ikut karena mereka melakukan perjalanan bisnis.
“Dua hari lahi Ayah sama Ibu udah di rumah lagi,” begitu kata Ibu padaku saat mereka berpamitan, Mereka meyakinkanku untuk tidak ikut serta. Istilah Ibu saat itu, “Jadwalnya padat, lho. Ana nggak bakal sempat jalan-jalan.”
Aku mengiyakan bujukan Ibu. Selama mereka pergi, aku dititipkan di rumah Vina. Tidak pernah terbayangkan bahwa hari itu adalah hari terakhir aku memeluk Ibu dan Ayah. Dan sejak itu, aku tinggal bersama keluarga Vina, keluarga Om Reno.
Aku menghela nafas. Sudah 10 tahun dan aku tetap masih merindukan Ibu dan Ayah. Bagaimanaoun, aku tetap bersyukur. Om Reno dan Tabte Vani baik padaku. Mereka memperlakukanku sebagaimana mereka memperlakukan Vina. Ya, Tuhan masih sayang padaku. Aku mematikan lampu kamar, berdoa, lalu merebahkan badan. Aku memejamkan mata dan tertidur.

***
 http://www.ideaonline.co.id/var/gramedia/storage/images/idea2013/interior/kamar-tidur/biar-ranjang-antik-tak-berasa-horor/865269-1-ind-ID/Biar-Ranjang-Antik-Tak-Berasa-Horor.jpg
Tok…Tok…Tok…
“Ana..,” Vina sudah mengetuk pintu kamarku. Berarti dia akan menumpang membaca lagi, seperti biasa.
“Iya, “ aku bangkit dan membuka pintu.
Numpang lagi, ya?” kali ini dia membawa 5 novel tebal.
Aku tersenyum dan Vina mengikutiku masuk ke kamarku. Vina mengambil tempat di pojok tempat tidurku. Ia menyusun tumoukan novel yang ia bawa, mengambil novel teratas, dan mulai membaca.
“Vina,” panggilku.
“Iya,” jawabnya.
“Kenapa sih kamu nggak betah baca novel di kamarmu> Aku heran aja sih. Bentuk kamar kita kan sama. Kamarmu malah lebih rapi daripada kamarku.”
“Hmm,” Vina menghela nafas, “Aku suka beca novel di sini. Adem.”
“Vin,” aku memanggilnya lagi. Vina mengangkat wajahnya. Ia tahu, kali ini aku butuh lebih dari ‘kamar adem’, ‘lebih fokus’, dan jawaban ngeles lainnya. Kali ini Vina tampak ragu.
“Aku tuh takut, An. Kadang-kadang dia muncul. Ngeliatin aku. Kadang-kadang berdiri di belakangku. Belakangan ini makin sering. Wajahnya, An. Wajahnya!” Vina histeris lalu menutup wajahnya dengan tangan.
“Siapa?” tanyaku.
“Dia,” jawab Vina. Lalu Vina menceritakan kapan ia pertama kali melihat ‘dia’. Bagaimana ‘dia’, tiba-tiba tampak di belakang Vina saat ia bercermin. Bagaimana ‘dia’ menggantung di langit-langit menatap Vina semalaman, membuatnya tidak bisa tidur. Mungkin itu sebabnya aku sering mendapati Vina dalam keadaan lesu dan pucat karena kurang tidur. Bagaimana Vina mulai terbiasa dengan adanya ‘dia’, namun sungguh, Vina berharap tidak melihat ‘dia’ lagi. Itulah sebabnya mengapa Vina lebih suka membaca di kamarku. “Ada temannya, An,” katanya. Ada aku. Setidaknya dia tidak sendirian.
http://www.tahupedia.com/img/uploaded/post/post_4/bayangan_hantu.jpg 
“Sebenarnya, An, ‘dia’ selalu ikut ke sini,” Vina melihatku serius, “itu, di sebelahmu.”
Reflek, aku melihat ke kanan dan kiri. “Vina!” seruku, “enggak  ada hantu atau ‘dia’ atau apala h itu di rumah ini, di kamar ini, di kamarmu. Itu cuma imajinasmu. Kamu harus mulai ngurangin baca novel serem. Nggak baik buat pikiran, oke??”
Vina tersenyum. Ia melihat ke arah kananku dan senyumnya menghilang. Segera ia menekuni novelnya lagi. Takut-takut, aku melihat ke arah kananku. Tidak ada apa-apa. Aku menghela nafas. Aku yakin itu perasannya saja.
Sejak malam itu, Vina mulai jarang berkunjung ke kamarku. Ia lebih sering membaca di lorong, di depan kamarnya. Vina juga menunjukkan gelagat aneh setiap kali berbicara denganku. Ia tampak gelisah, tidak pernah melihat wajahku, melainkan melihat ke arah belakangku, seolah-olah ada seseorang di sana. Bahkan beberapa malam terakhir kulihat Tante Vani masuk ke kamar Vina, menemaninya tidur.
Sudah dua minggu sejak kunjungan terakhir Vina ke kamarku. Aku jadi merasa bersalah. Mungkin dia benar-benar takut. Sepertinya ini giliranku yang berkunjung ke kamarnya. Kuambil beberapa novel kesukaanku, lalu mampir sebentar ke dapur mengambil beberapa kudapan, dan aku beranjak ke kamar Vina. Kulihat pintu kamar Vina terbuka sedikit. Kudorong pintu kamarnya dan aku mendapati Vina sedang tepekur di meja belajarnya. Tampaknya sedang asyik membaca novel, seperti biasa.
“Hei,” sapaku sambil menepuk pelan bahunya.
“Vina mengangkat wajahnya. Ia tampaknya pucat dan lelah, tapi masih berusaha tersenyum padaku.
“Kamu sakit, Vin?” tanyaku.
Enggak kok. Mungkin karena kurang tidur,” jawabnya.
“Dia… datang lagi?” aku bertanya ragu-ragu.
“Iya. Di sini semalaman. Aku nggak berani keluar. Cuma bisa tutupan selimut sampai pagi,” ujarnya lagi.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh kamar Vina. Tidak ada apa-apa. Kuletakkan bawaanku di tempat tidurnya. Kuperiksa kolong, kuperiksa lemarinya, terakhir kulihat ke atas, ke langit-langit. Nihil. Akhirnya kunyalakan lampu kamarnya karena sudah mulai gelap.
“Oh iya, jadi pinjam Rectoverso-nya?” kuganti topic pembicaraan, “aku ambil dulu, ya?”
“ Iya,” ujar Vina tersenyum.
Aku segera kembali ke kamar untuk mengambil novel yang hendak dipinjam Vina. Kubuka pintu kamar dan menyalakan lampu. Saat itu juga kurasakan jantungku berhenti, tubuhku gemetar. Seseorang duduk memeluk lutut di tempat tidurku. Ketakutan.
“Ana, dia datang lagi. Ana.. tolong… tutup.. pintunya… aku… takut…”
Membatu, pandanganku tak bisa lepas dari sosok yang tengah ketakutan di tempat tidurku.

Vina…


Selesai.




Cicilia Yunilitaayu 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya