Jakarta,
Di pertengahan usia 20an...
Hooooooo...
Saya tuh selalu sebel sama topik yang "memaksa" kita untuk membagi kelompok ibu-ibu menjadi dua: ibu bekerja dan ibu rumah tangga.
Ada banyak manusia nyinyir di luar sana yang mendewakan ibu rumah tangga dan memandang rendah ibu bekerja. Ada banyak manusia nyinyir juga yang memuja-muja ibu bekerja dan menghina ibu rumah tangga.
Saya akan menulis tentang sosok yang saya kenal dengan baik; ibu bekerja.
Saya bisa memberikan banyak sekali contoh konkret. Tapi cukup saya ambil salah satu contoh terdekat, Ibu saya.
Ibu saya seorang guru. Masih aktif sampai sekarang, di usia beliau yang ke 52. Masih ligat, semangat, gesit, dan cekatan. Saya mah kalah pokoknya. Ibu saya adalah salah satu dari banyak ibu bekerja. Syukurrrlaaah ibu saya guru, jadi kami selalu berangkat dan pulang bersama. Hehehehe.. Kalau saya libur, ibu saya juga... hohohoho...
Ibu saya bekerja sebagai guru sejak muda, selepas lulus dari Sekolah Pendidikan Guru di Padang Sidempuan. Sebagai ibu bekerja, ada masa di mana beliau mau tidak mau "meninggalkan" anak-anaknya di tangan orang lain. Orang itu adalah Budhe (almarhumah). Setiap pagi, sebelum orang tua saya bekerja, saya akan diantarkan ke rumah Budhe terlebih dahulu, berikut baju, makan pagi, dan makan siang, baru orang tua saya cau ke sekolah. Setelah itu saya akan diajak Budhe ke warung dan saya pasti dibelikan 2 coklat cap ayam jago yang hanya boleh saya makan nanti. Setelah kembali ke rumah Budhe, Budhe akan menyuapi saya sarapan lalu saya akan main sebentar. Nanti sekitar jam 10an saya bobo siang ronde pertama. Setelah bangun, saya disuapi makan siang, baru deh saya boleh makan coklat yang 2 tadi. Lalu, kalau sudah mendekati jam pulang sekolah, Budhe akan mengantarkan saya kembali ke rumah, sembari menanti orang tua saya datang.
Saya selalu diceritakan bagaimana saya yang begitu bangun dari tidur siang ronde dua akan menangis meraung-raung alay kalau tidak menemukan Budhe. Alasan saya adalah "Belum dadah sama Budhe". Sueeeerrr, saya alay bangetlah kalau sudah menangis begitu. Bisa sampai guling-guling. Yang saya tahu, orang tua saya akan menenangkan saya dan mengatakan besok kan ketemu Budhe. Yang saya gak tahu, bagaimana patah hatinya Ibu saya (terutama) saat anaknya lebih sedih ketika tidak bisa 'dadah sama Budhe' daripada ditinggal beliau bekerja. Mereka yang dengan keras memeras keringat, banting tulang demi mempersiapkan hidup yang lebih baik untuk kami, dan saya justru meraung karena 'belum dadah Budhe'.
Mungkin ada ibu bekerja yang mengalami seperti ini. Yang anak-anaknya lebih sering memanggil "Mbak" daripada memanggil ibunya. Saya baru sadar sekarang, bagaimana tidak adilnya sikap saya, karena saya tahu, ibu saya yang bangun di pagi buta, menyiapkan dan membuat secara manual nasi tim bergizi untuk saya, menyiapkan sarapan untuk bapak dan abang abang saya, lalu setelah memastikan kami sudah terladeni dengan baik, barulah beliau mengurus dirinya sendiri. Dan saya malah lebih pengen 'dadah sama Budhe'. Saya gak tahu, mungkin hati ibu saya hancur saat saya menangis alay seperti itu. Saya gak tahu bagaimana lelahnya dan pilunya ibu saya yang rindu sama anaknya, dan begitu sampai rumah justru disambut tangisan saya, tetapi bukan karena saya rindu sama beliau.
Saya tidak mendewakan ibu bekerja. Semua ibu itu bekerja. Ini hanya masalah status dan pilihan hidup. Yang bilang ibu rumah tangga itu gak kerja tuh siapaaaaa???? Setiap ibu dengan status tambahannya yang karyawan, guru, dokter, pedagang, farmasis, dosen, seniman, pebisnis, dan ibu rumah tangga adalah pribadi tangguh yang luar biasa.
Jadi, gak perlulah ada perdebatan tentang ibu seperti yang sering terjadi, gak perlu menganggap ibu bekerja itu 'egois' dan gak benar menganggap ibu rumah tangga itu 'gak sayang gelar'. Setiap ibu, apapun sebutan tambahannya, selama menjalankan tanggungjawab dan perannya dengan baik adalah seorang IBU. Titik. Harga mati.
Jadi seorang ibu adalah sebuah tantangan dan sebuah anugerah dari Yang Kuasa.
Bapak juga (heheheheheehe)
Komentar
Posting Komentar