Untukmu, Calon Pendampingku...
Sebagai wanita berusia pertengahan kepala dua, aku mulai bisa menebalkan telinga setiap ada yang bertanya, "Kapan menikah?"
Dan setiap kali aku menjawab untuk minta doanya, mereka akan tetap mengejar dengan bertanya, "Kan udah punya pacar" atau "Kan udah kerja", atau "Masih nunggu apa lagi sih?", dan gongnya adalah saat mereka memutuskan bahwa aku semacam 'wajib' untuk menikah duluan, karena aku anak gadis satu-satunya di keluarga.
Dalam hati, aku hanya bisa mengamini setiap doa yang orang banyak sampaikan dan mengesampingkan segala aturan yang tanpa sengaja mereka ciptakan. Banyak yang aku tunggu, maksudku, banyak yang kita tunggu.
Aku tahu, kamu tahu, menikah itu bukan perkara gampang. Bukan perkara aku dan kamu mengucap janji di hadapan Tuhan, imam, orang tua, dan saksi, lalu diberkati. Menikah itu bukan perkara pesta rakyat yang digelar setelah pemberkatan. Menikah itu bukan perkara memikirkan tema pre-wedding dan post wedding. Menikah itu bukan perkara mudah, semudah mengucapkan, "Will you marry me?"
Aku minta maaf, kalau sempat satu atau dua kali, atau malah berkali-kali aku seolah mendesakmu untuk memberikan 'tanggal pasti' mengenai kapan kamu menghadap ibu bapakku untuk 'memintaku'. Maaf, karena ada kalanya aku pun tak tahan dan termakan desakan orang. Ada kalanya aku pun merasa iri saat melihat gambar teman-teman sebaya yang satu-persatu melepas status lajangnya. Aku sempat tak ingin membuka akun 'bukumuka'ku karena jengah dan iri setengah mati melihat bayi-bayi lucu terpampang di halaman depannya, berbagi cerita tentang kemajuan buah hatinya, dan bangga karena dipanggil 'Mama'. Aku juga merasa rikuh, saat mendengar orang-orang yang siapalah itu aku pun tak tahu, menanyakan perihal cucu ke orang tuaku. Aku tak tahan setiap kali orang banyak bertanya mengenai undangan (undangan ulang tahun???), pesta di mana, adat apa (adat apa????). Aku lelah harus menjawab setiap pertanyaan mereka, karena aku tahu, setiap jawabanku adalah gerbang menuju puluhan pertanyaan lain yang siap tumpah dari mulut mereka.
Menikah itu bukan perkara gampang, karena ada hidup yang harus kita lewati bersama sebagai keluarga setelah acara bertukar janji sehidup semati. Hidupku adalah hidupmu, hidupmu adalah hidupku. Maka akan menjadi tidak semudah aku bermasalah denganmu lantas aku pergi meninggalkanmu dan mencari hati yang lain. Tidak bisa. Janji itu akan kita bawa sampai mati.
Maka itu, aku, kamu, kita butuh persiapan yang sangat matang. Dalam segala hal. Aku ingin kita berjalan berdampingan bukan karena ingin memuaskan rasa penasaran orang banyak, tapi memang karena kita sudah siap. Bukan karena ingin pamer pada semua orang, tapi karena kita memang sudah yakin satu sama lain. Saat aku masih meragukanmu, atau saat kamu meragukanku, maka sebaiknya kita mundur saja, untuk saling menguatkan kembali.
Aku tahu, kamu pun pasti memikirkan hal itu. Dan aku tahu, kamu tak ingin terburu-buru karena kamu ingin membahagiakan aku nanti. Terima kasih ya...
Dan untuk itu, aku pun, seperti yang pernah kusampaikan, ingin memantaskan diri menuju janji suci itu. Tidak hanya perkara bisa masak dan melakukan pekerjaan rumah tangga, sekalipun itu memang perlu. Tidak hanya perkara bisa bersolek dan menjahit kancing kemejamu yang lepas, atau sekedar memasangkan dasimu nanti.
Aku ingin memantaskan diri agar kamu bahagia karena bisa menghabiskan sepanjang hidupmu bersamaku. Agar kamu bangga memperkenalkanku pada kolega-kolegamu nanti. Agar kamu bangga memiliki buah cinta yang lahir dari rahimku nanti. Dan itu dia. Aku tidak ingin kita bersama hanya karena kita harus meneruskan sebuah garis keturunan. Menjadi orang tua itu tidak ada sekolahnya, hal itu adalah pembelajaran seumur hidup.
Untuk itu, kamu, calon pendampingku kelak, walaupun aku selalu 'memaksa', izinkan aku membenarkan 'pemaksaanku' itu, bukan karena terburu waktu dan usia, tapi agar aku dan kamu dapat bersiap segera. Namun begitu, terima kasih sudah bersedia menerima segala keluh kesahku, aku tahu, di sanapun mungkin kamu tengah menghadapi kepelikan yang sama.
Dan ini adalah saat yang tepat untuk belajar berbagi segala beban berdua.
Terima kasih...
Sampai bertemu lagi, di saat yang tepat...
Saat aku dan kamu, sungguh-sungguh siap...
Jakarta, 19 Februari 2015
halo pendamping? *aq selo ahh komen ra ceto*
BalasHapuskowe lek komen sik mutu sithik la sur...
Hapus