Memaknai Misa (Masihkah?)
Saya baru pulang misa. Sendirian. Soalnya teman saya yang ngajakin saya misa mendadak membatalkan janji karena mau ketemu teman yang akhirnya dia gak jadi bertemu temannya itu. Bingung? Ya pokoknya itu lah. Karena duit mulai kudu dihemat, maka jalan terbaik untuk bisa menuju gereja adalah dengan merampok sepeda motor yang menganggur. Syukurlah, ada. Intinya, saya sampai di gereja, Gereja Maria Bunda Karmel.
Misa sore ini boleh dibilang sepi. Mungkin karena seharian tadi hujan, sehingga banyak yang memilih untuk bergelung dalam selimut hangat, atau karena sudah misa pagi harinya, atau karena beraragam alasan yang disahkan untuk bisa mangkir dari misa yang hari ini adalah minggu advent ke-4 *bentar lagi Natal cuiiiii...
Bukan sepinya yang mau saya bahas, tetapi bagaimana kita selalu lupa kalau kita sudah selayaknya memberikan sedikit waktu kita untuk Tuhan. Ini hari Minggu, harinya Tuhan, ke gereja untuk misa paling 1,5 jam doang, dan kok ya masih tidak fokus menghadap Tuhan?
Guru agama saya di SMP dulu pernah bilang, "Misa itu dimulai ketika kamu berlutut menghormati Tabernakel, lalu duduk, lalu berdoa. Misa itu selesai ketika Romo beranjak, kembali ke sakristi, dan kita berlutut untuk berdoa penutup, menghormati Tabernakel lagi." Jadi bisa dibilang, Tanda salib pertama yang kita buat seteah duduk adalah pertanda kita siap untuk mencurahkan seluruhnya hanya pada perjamuan Ekaristi. Dan jika memang seperti itu adanya, bukankah sebaiknya kita meninggalkan kefanaan kita sejenak untuk menghadap Tuhan dengan hati yang penuh? Tapi tadi, di gereja, setiap saya melihat seluruh ruangan, yang saya lihat adalah, umat, dari segala usia, membuka ponselnya, BBM-an, baca twitter, buka fb, atau sekedar membuka album foto. Dan yang saya rasakan tadi cukup menggangu konsentrasi saya, 3 anak muda yang duduk di belakang saya asik bergosip, tertawa (catat: TERTAWA!), cekikikan dengan volume suara yang cukup besar. Saya pribadi, jujur merasa terganggu, saya mau ketemu Tuhan, jadi saya kesampingkan mereka dan menganggap mereka tidak ada di belakang saya.
Saya sedih. Bukan gereja seperti ini yang ingin saya masuki. Gereja memang bukan gedung, tapi umat Katolik itu sendiri. Kalau umatnya mulai kehilangan makna dan waktu untuk memaknai misa yang tidak seberapa lama itu, bagaimana gereja yang sesungguhnya bisa berkembang?
*keprihatinan saya semata...
_cicilia_
Komentar
Posting Komentar