Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Tiga Hari Untuk Selamanya


Hari ini adalah hari pertama Ujian Nasional untuk SD. Iya, yang SMP dan SMA terkesan sudah merdeka karena sudah selesai UN. Padahal ya masih ketar-ketir juga, "Lulus enggak yeee...?". Tenang aja, sudah belajar? Berdoa? Minta restu orang tua dan guru? Sudah isi lembar jawabannya? Pasti Lulus! Amiiin...
Menarik. Dari tahun ke tahun selalu ada kebiasaan unik di tiap sekolah dalam mempersiapkan UN, dari yang wajar sampai yang kurang tahu juga masih wajar atau enggak. Dari misa atau doa bersama, pengajian, istigosah, nyekar ke makam, sampai disediakan susu buat peserta ujian dengan harapan mereka bisa tenang mengerjakan ujian, selain itu kandungan dalam susu bisa merangsang otak besar. Pak, pliss... Kalau memang niat mau kasih susu, ya kasih dari awal kelas 6 dimulai juga kali. Opo ya pagi minum susu langsung pintar gitu? Mending kalau itu anak biasa minum susu tiap hari? Lah kalau enggak? Sia-sia juga, ada juga mules, karena perutnya enggak biasa nerima susu.

Anyway, sepanjang 3 kali UN yang saya lewati (Puji Tuhan, selalu lolos dari lubang jarum itu...),saya merasakan beberapa hal. Waktu UN kelas 6 (masi EBTANAS), saya enggak belajar. Sungguh! Eh, belajar ding, belajar melingkari dan menghitamkan jawaban. Soalnya dari kelas 1 sampai 6 SD kalau ujian ya cuma disilang gitu ABCD-nya. Belajar pun dikit-dikit (sombong mode on). Tapi toh bapak saya tetap membangunkan saya jam setengah 5 pagi dengan asumsi saya akan belajar (mana ada, nerusin bobok iya). Intinya, saya lulus. Nilai memuaskan (boleh lah). Saya bisa lanjut ke SMP Xaverius.
UN di SMP, baru deh saya (ceritanya) belajar. Beneran, jek, saya belajar. Pagi sampai siang belajar reguler di sekolah, pulang sekolah lanjut les di sekolah juga, khusus untuk mata pelajaran yang diujiankan. Habis itu pulang, istirahat, makan malam, lanjut belajar sendiri sampai jam 9. Terus tidur. Begitu seterusnya kehidupan saya selama persiapan UN. Plus, doa novena. Kan seperti kata Ibu Teresa, Ora Et Labora. Berdoa dan Bekerja. Di moment inilah saya mengenal kata pasrah. Saya enggak mau stress. Biasanya stress malah enggak konsen. Sekali lagi, saya lulus saudara-saudara... Enggak masuk 20 besar memang, tapi whatever, nilai saya masih tergolong bagus kok. Saya bisa lanjut ke SMA di luar pulau, yang selama 15 tahun saya tinggali.
SMA, ada masa-masa kenakalan saya yang sipp! Nilai sampai terjun payung (turun, tapi enggak drastis). Abang sampai marah-marah pas ambil rapor, tapi kan saya benerin juga di semester berikutnya. Saya tahu kapasitas otak saya, jadi saya mengusahakan dengan memberikan yang terbaik dari yang saya bisa (eeeee cieeeeeee... sok bijak banget!). Masalahnya adalah, entah sejak kapan, saya enggak bisa memahami pelajaran matematika. Saya kesel setengah mati kalau udah mengerjakan soal persamaan yang ribet dan njelei ujung-ujungnya jawabannya 0 atau 1, paling benci kalau jawabannya imajiner! Tapi saya masih memaksa diri untuk menaklukkan benda ini, kalau enggak, masa depan saya terancam! Tambah FISIKA! Saya enggak pernah suka sama pelajaran ini, mengingat guru Fisika saya dulu (dari SMP) enggak ada menarik-menariknya (alibi.net). Predikat anak jurusan IPA benar-benar beban buat saya. UN SMA lah yang menurut saya paling saya takuti. Saya takut enggak lulus. Bukan enggak mungkin loh. Kakak kelas saya yang otaknya 'cling' aja ada yang enggak lulus, gimana saya yang pas-pas-an..? Saya sampe minta les privat, tapi malah diketawain ama nyak babe dan abang-abang. "Abang aja bisa lulus, masak Kakak (saya) enggak?". Akhirnya saya lagi-lagi mengandalkan kelas tambahan di sekolah. Lulus UN memang tergantung banyak faktor; kesiapan, tingkat kesulitan soal, mental, dan keberuntungan. Saya berharap yang terakhir. Sungguh.
Saya ingat betul bagaimana saya dan teman-teman sekelas mengadakan belajar bersama padahal itu hari libur! Demi! Demi lulus! Kami mengadakan doa bersama ke Ganjuran, misa di sekolah, misa lagi di asrama, bahkan Goa Maria yang ada di sekolah yang sempat terlupakan mendadak tenar! Penuh lilin. Menandakan ada banyak yang BARU teringat Tuhannya ketika mau ujian, so do I. Ruang doa di asrama pun jadi sering terpakai. Padahal kalau enggak ada ujian, kosong-kosong aja, kecuali memang waktunya doa sore.
Hari pertama saya lewati dengan cukup sukses. Bahasa Indonesia dan Matematika, cukup lancar. Oh, makan korban 1, teman saya menangis saat keluar dari ruang ujian. Hari kedua, Bahasa Inggris dan Kimia. Kali ini saya yang jadi korbannya. Begitu keluar kelas, saya enggak bisa melanjutkan jalan pulang, saya cuma duduk, lalu menangis. Saya merasa ujian Kimia saya NOL BESAR! Persiapan hitung-hitungan yang dilatihkan selama ini tidak keluar, justru 98% teori. Saya putus asa, jelas. Hari itu performa terburuk saya. Untuuuuuung banget Bapak menenangkan saya, hehehehe..
Hari ketiga lewat, saya lega, panik, bahagia, takut, semua perasaan gundah gulana, masygul, komplet dah pokoknya, spesial pake telooorrr!!! Saya lulus, dengan nilai mepet, pas totalnya 40,00. Kimia saya dapat 5 koma berapaaaaa gitu. Kok kesanne bangga yo? Ya bangga, itu hasil kerja saya sendiri, saya enggak nyontek, enggak tanya teman, enggak BELI JAWABAN, jadi itu murni, perjuangan saya selama 3 hari itu.
Saya bersyukur aja sih, bisa melewati saat-saat mematikan itu, sudah merasakan pake toga juga, sudah punya gelar sarjana, sekarang menunggu saat-saat mematikan yang lainnya, kompre. Saya bangga, bisa melewati itu semua. hehehehehehe...
Jadi, buat adek-adek yang sedang kalut habis UN, tenang aja, usaha kalian enggak bakal sia-sia, apapun hasilnya, kalian harus bersyukur. SEMANGAT!!!


_cici_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya