Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Sawah

Ada apa dengan sawah? Mengapa judul cerita saya kali ini setelah sekian tahun tidak menulis, saya memberi judul sawah pada cerita saya? Jawabannya ada di cerita yang saya tulis di bawah ini.
Hari ini saya merasa saya melewati satu hari yang berkualitas. Mengapa? Karena seharian saya melakukan kegiatan bermanfaat. Bangun pagi (terlambat pula), mandi, minta dijemput (dengan SMS semena-mena minta jemput sama Suriadi), berangkat ke Apotek Pendidikan Sanata Dharma tercinta, tempat janjian paling yahud (soalnya gampang lah nyarinya, plangnya gede banget begitu), terus lanjut ke Jalan Kaliurang, terus ke UKDW, dan finally berangkat ke Samigaluh, Kulon Progo. Keberangkatan saya dan teman-teman ke sana dilakukan dalam rangka kegiatan bakti sosial. Akan ada pemeriksaan dan pengobatan gratis (tapi sih ketua panitianya bilang ini bukan pengobatan gratis, tapi skrining kesehatan. Iyo i waelah).
Acara di sana berlangsung jam setengah 10 (katanya), tapi toh dimulai lai itu sekitar jam setengah 12. Molornya acara terjadi karena selain warganya juga telat datang, juga karena ada acara sambutan yang menurut saya kurang efisien. Pliss deh bro bro semua, itu bakti sosial skala kecil, udah lah... kata sambutannya kan bisa di-skip. Saya dan teman-teman sampai ngantuk dengernya. Sudahlah pakai bahasa Jawa Kromo, panjangnya mintak ampun pula, hampir lupa kalau kami ke sini dalam rangka baksos.
Baksos dimulai, orang dan resep mulai menyerbu meja kami yang ditulisi "Apotik" (nulis aja salah, yang benar kan APOTEK, itulah Endonesaaaahhhh). Satu persatu pasukan maju menyerahkan obat. Tantangannya adalah, tidak semua masyarakat sana bisa berbahasa Indonesia, matilaaaahhhhh. Dengan kemampuan bahasa Jawa Kromo yang pas-pas an plus modal nekad, toh obat pun berpindah tangan. Untungnya, pasien mengerti dan mengulang informasi yang diberikan sesuai pengarahan Kromo-seadannya itu (ini sih pengalaman pribadi saya, kurang tahu juga kalau teman-teman yang lain).
Setelah kurang lebih 3 jam kami baksos, kami pun membereskan peralatan dan obat-obatan. Enggak juga sih, soalnya kami disuruh makan (untuk yang kesejuta kalinya), dengan ancaman, kalau enggak makan secepatnya nanti ditinggal! Singkat cerita, kami pulang. Dengan format yang sama. Saya, 4 orang teman saya, Bang Sopir (yang ternyata Batak asli), satu orang dokter keturunan India (ni mulut gatel banget rasanya, pengen nanya, "Oom, kenal sama Shah Rukh Khan gak? Titip salam dong...), dan panitia dari pihak penyelenggara. Kami melewati yang berbeda dengan jalur yang kami lewati ketika berangkat.
Saat kami melewati jalan pulang itu, saya melihat keajaiban Tuhan yang luar biasa, hamparan sawah yang luaaaaaassssss banget. Sejauh mata memandang benar-benar hanya sawah. Sawah, sawah, dan sawah!!!! Tidak terucapkan keindahannya (entah mengapa, saya mendadak jatuh cinta sama view itu).
Seketika itu juga keluar kalimat dari mulut saya, "Semoga ini enggak jadi rumah."
Si Abang supir tertawa. "Wah, kata-kata bagus ini, semoga enggak jadi rumah. Tapi kayaknya enggak mungkin lah, pasti bakal jadi rumah..."
"Yaaaah, kalaupun bakal jadi rumah, semoga saya enggak lihat kalau ini (sawah) jadi rumah."
Jauh di lubuk hati saya, saya sungguh tidak ingin area hijau ini kelak menjadi bangunan, diratakan, dicor, disemen, dan berakhir menjadi hunian. Mungkinkah itu sebuah harapan naif dan egois? Atau ini adalah sebuah harapan supaya kelak anak-cucu saya (dan kita) masih bisa melihat apa itu yang namanya sawah?
Saya hanya tidak ingin kemajuan zaman dan teknologi menggilas lingkungan yang jelas-jelas sudah memberi hidup bagi sekitarnya. Saya juga tidak ingin anak-cucu saya (dan kita) hanya tahu tanaman padi dari buku cerita. Saya tidak ingin rona hijau perlahan memudar dari muka bumi. Cukup pilu melihat kota kelahiran saya perlahan kehilangan keasriannya. Sungguh, andai saya orang punya, saya mau beli semua sawah untuk saya pertahankan sebagai sawah. Tapi ya... kita tidak tahu apa yang akan terjadi, karena bagaimanapun, pembangunan masih menjadi indikator kemajuan. Semoga, saya masih bisa menikmati sejuknya pemandangan sawah, hutan, dan rona hijau lainnya sebelum saya dipanggil Yang Di Atas. Amin.




_cici_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya