Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes atau lebi

Hujan Buat Pohon Kersen


Kersen dan parkit, kita sudah tahu tentang mereka. Kersen dan hujan, kita pun tahu tentang mereka. Kersen dan Gladiol, entahlah itu sambungan yang menyakitkan atau bagaimana. Mungkin ada baiknya bila ada yang menceritakan hujan.

Baiklah, namanya hujan, ia bisa membuat orang lain senang dan mengumpat dalam sekali kesempatan. Seperti semanggi yang bahagia saat hujan turun, atau seperti ibu yang mengumpat saat hujan membasahi jemuran. Hujan, selalu berkesan, setidaknya untuk makhluk sekokoh kersen.
Kersen yang bahagia setiap sang hujan hadir di tengah dahaga, kersen yang bahagia setiap hujan membelai lembut ranting-rantingnya yang kering, menyusup ke dalam urat-uratnya, mengalir di dalam tubuhnya. Kersen yang mendekap hujan dengan caranya yang tak biasa, menari kala hujan datang dan menciptakan nada lewat gemerisik padu titik air dengan daun-daun kersen.
Kersen yang mencintai hujan, kersen yang setia menunggu hujan datang dalam kegalauan hatinya. Kersen yang menginginkan hujan di setiap matahari terbit dan tenggelam. Kersen yang selalu memendam rasa bahwa ia mencintai hujan. Bahkan parkit tak pernah bisa meyakinkan kersen bahwa memendam rasa itu percuma, hanya menyakiti diri sendiri. Kersen masih tak peduli.

Suatu hari, ketika parkit sedang asyik berleha-leha di salah satu dahannya, Kersen bertanya, “Hai parkit, andai aku mengutarakan perasaanku padanya, akankah dia menjadi milikku?”
Parkit tercenung, bingung. Lantas ia menjawab, “Aku tak tahu. Karena aku bukan hujan.”
“Tapi, Parkit, aku mencintai hujan. Bukankah seharusnya ia juga mencintaiku?”
Parkit menghela nafas, sedih, “Kersen, dalam cinta tidak ada kata seharusnya. Itu bukan cinta, itu pemaksaan. Dalam cinta tidak ada pemaksaan, Kersen. Kau harus tahu itu.”
Kersen merenung. Begitukah? Mengapa cinta itu terdengar tidak adil?
Parkit membaca kegelisahan kersen, lantas ia menguatkan hati sahabatnya, “Tapi kalau kau ingin bebanmu terlepas, utarakan isi hatimu, sahabatku. Apapun jawabannya.” Parkit pun terbang meninggalkan Kersen yang masih berkutat dengan pikirannya.
Tak lama kemudian, mendung melingkupi Kersen, menutupi terik matahari yang sedari tadi memanggang ranting-ranting Kersen. Benar saja, tak lama kemudian, hujan pun turun.
Hujan melihat raut Kersen yang muram. Hatinya tergerak untuk mendekati Kersen. “Hai Kersen, hari ini kau terlihat berbeda. Kau baik-baik saja?”
“Hujan, aku mencintaimu.”
Hening sesaat, hanya terdengar derai hujan yang yang semakin deras, terkaget akan pernyataan Kersen yang sangat frontal dan tanpa basa-basi itu.
“Kersen, kau bicara apa?”
“Aku mencintaimu. Kau mencintaiku?” desak kersen yang entah mendapat keberanian dari mana untuk bisa mengucapkan hal itu.
Sang hujan masih kaget, kemudian ia tersenyum, membelai lembut Kersen, mengecupnya, dan menjawab, “Aku, menyayangimu.”
Kersen tersentak senang dan hujan melanjutkan, “Tapi kau tak boleh mencintaiku”
“Mengapa?”
“Karena aku tak mungkin bertahan di satu hati. Aku tak bisa menjadi milikmu. Bukan berarti aku tak setia, Kersen. Aku hanya tak ingin kau terluka, melihatku bergembira dengan yang lain, tidak hanya denganmu.”
Kersen kelu tak bisa menyahut. Kersen menangis, dalam hujan, dan hujan menutupi derai air mata pilu yang menetes pelan, sebuah manifestasi luka yang tak pernah Kersen siapkan.
“Kau sudah memilikiku, dalam setiap dedaunan di rantingmu, dalam setiap nadi dan pembuluh darahmu, dalam setiap udara yang kau hirup, dalam setiap tarian yang kau lakukan untuk memanggilku, dalam setiap pelangi yang kuberikan untukmu, kau sudah memilikimu.”
“Tapi kau tetap bukan untukku,” Kersen menangis semakin pilu.
“Ya, aku bukan untukmu. Maafkan aku, Kersen,” sesal Hujan yang sebenarnya jauh lebih terluka daripada Kersen. Lantas hujan mendekap Kersen, lebih erat, lebih lama, sebelum ia pelan-pelan menghilang, dan awan-awan menyingkir, lalu tampak busur pelangi yang indah seperti biasanya, tapi kali ini busur itu terlihat lebih indah.
“Sekalipun aku tak bisa memilikimu, sekalipun ada yang mampu memenangkan hatimu, aku mencintaimu, Hujan.”
Kersen tersenyum lega, sekalipun masih ada titik air mata di sana, tapi Kersen bahagia. Hilang sudah beban yang menghimpitnya selama ini.
Sekali lagi ditiupkannya, “Aku mencintaimu, Hujan.”



Based on bailancomigo-jola.blogspot.com dan ariesadhar.wordpress.com

Komentar

  1. hwaaaa,,tidaaaakkzzz,,,,(jedot2in kepala ke pohon kersen beneran,,,habis itu semaput)

    BalasHapus
  2. baeklahhhhhh....ka..ka..kalian...telah belajar byk ternyata...mewakilkan perih lewat kata2...ohhhh...baeklahhhhh

    BalasHapus
  3. ada satu wanita galau di seberang pulau sana yang tertohok juga hatinya,,
    hahaha,,,
    Zhi pa wo zi ji hui ai shang ni
    Bu gan rang zi ji kao de tai jin...
    mari nyanyi bersama sodara2,,tangan di atas kepala...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Oom Alfa; dan Pria Galau di Belakangnya