Solo, April 2018
Happy weekend ya Gaes. Yang masih masuk kerja ya tetap dinikmati dan disyukuri. Yang masih bisa ngulet-ngulet di kasur sampai lewat tengah hari begini, ya juga dinikmati dan disyukuri. Kalau saya? Saya bisa bangun agak siang, dan akhirnya bangun total setelah ada makhluk berbulu yang ngambus-ngambus kaki saya. Karena suami saya di Sabtu syahdu ini tetap masuk kerja, maka saya mencari kegiatan lain. Kebetulan, mertua mau menghadiri pemberkatan perkawinan anak seorang teman, maka saya ikut saja lah, sekalian keluar, dolan. Heu.
Kami sampai di Gereja Katolik Purwosari saat lagu antarbacaan sedang disenandungkan. Berarti misa dimajukan, soalnya secara waktu kami belum terlambat kok. Ciyus, enelan. Lagu antarbacaan yang dinyanyikan adalah lagu ciptaan Pak Putut almarhum, Kasih;
Andaikan aku fasih
berbicara
Namun tak punya cinta
kasih
Ku bagai gong yang
bergaung
Andai imanku mampu
pindahkan gunung
Namun tak punya cinta
kasih
Ku tiada berguna
Kasih itu sabar, murah
hati
Percaya, tak angkuh dan
tak dengki
Kasih itu tak memegahkan
diri
Kasih itu kekal serta
abadi
Andaikan aku mendermakan
hartaku
Namun tak punya cinta
kasih
Tiada berartilah aku
Kasih itu sabar, murah
hati
Percaya, tak angkuh dan
tak dengki
Kasih itu tak memegahkan
diri
Kasih kekal dan abadi
Aiiii, mendadak melo deh aing.
Misa dilanjutkan dengan Bacaan Injil, lalu Homili. Awalnya saya agak-agak luping sama Romonya, tapi entah kenapa saya yakin pernah melihat beliau sebelumnya. Saya lalu memastikan ke salah seorang teman dan benar saja, Romo yang menurut saya rocker dan blak-blak an ini adalah Romo yang sama yang memberkati pernikahan teman kuliah saya dulu. Mantap Pak Buk!
Isi Homili beliau menarik. Berisi tapi juga penuh canda. Beliau bilang, "Saat kamu merasa sedang tidak ingin bersama pasanganmu, ingat, kamu yang memilih pasanganmu. Kalian sudah saling memilih dan memutuskan, tidak ada paksaan dari siapapun. Maka kembalilah pada pasanganmu."
Romo juga memberikan nasihat untuk para orang tua, "Saat anak-anak kalian entah karena suatu hal datang pada ibu bapak dan mengeluhkan pasangannya, JANGAN SEKALI-KALI ngompori! Sebagai orang tua, bijaklah memberikan nasihat. Jadilah air yang menyejukkan. Jangan malah nambah-nambahi supaya anaknya semakin merasa telah keliru dalam memilih pasangan. Jangan pernah bilang 'Tho, wis tak kandani tho biyen nek si A ki bla..bla..bla..', jangan!" Pesan paling penting dari Romo, "Apapun masalah rumah tangga yang sedang kalian hadapi, JANGAN PERNAH CURHAT SAMA TEMAN!"
Nah lo! Bener juga sih. Soalnya bapak saya yo nasihatin hal yang sama sih, "Jangan pernah curhat soal rumah tanggamu ke temanmu." Rawan tikung kalik ya. Lah, kalau butuh banget curhat? Mengeluarkan uneg-uneg yang terpendam di dalam dada, bagaimana? "Curhat sama Romo, curhat sama Dia." Romo adalah manusia bebas yang independen dalam berpandangan, tidak terpengaruh manusia lainnya. Terutama Romo yang memberikan penyidikan kanonik, wohoooo mantap!
Ngomong-ngomong perkawinan Katolik, saya jadi ingat tentang tahapan-tahapan yang harus saya dan suami lewati sebelum bisa hidup bersama sebagai suami istri ini.
Jadi dalam pernikahan Katolik ada beberapa tahapan yang harus dilalui, mari jo kita lihat:
1. Kursus Persiapan Pernikahan
Kursus? Les maksud Anda?
Yes! Kursus.
Biasanya diadakan selama 3 hari. Isi kursus antara lain teori perkawinan katolik, sakramen perkawinan itu apa, kesehatan organ reproduksi, ekonomi rumah tangga, dll. Saya dan suami kursus di Paroki domisili saya, si calon mempelai wanita. Soalnya kalau kayak saya kemarin aslinya saya kan dari Bukittinggi, tapi saya sudah lebih dari 6 bulan tidak aktif di paroki tersebut, maka saya harus menjadi anggota paroki tempat saya berdomisili. Saat itu saya berdomisili di Jakarta Barat yang masuk Paroki Maria Bunda Karmel. Maka saya harus mencari Ketua Lingkungan tempat saya tinggal dan minta surat pengantar untuk bisa ikut kursus. Selanjutnya saya mendaftarkan diri dan calon suami ke sekretariat KPP. Mungkin di beberapa paroki bisa mendaftarkan di sekretariat paroki, tapi kalau di MBK punya sekretariat sendiri yang bukanya sore sampai malam, untuk memfasilitasi pasangan-pasangan yang bekerja sampai sore. Woh, mantap jiwa! Dari situ kami mendapat jadwal untuk kursus, 3 hari berturut-turut dari hari Jumat sampai Minggu yang ditutup dengan misa syukur.
2. Penyidikan Kanonik
Woh, opo meneh iki?
Setelah kursus, kami harus mengurus jadwal penyidikan kanonik. Siapa yang menyelikiti... menyidikili... halah, melakukan penyidikan kanonik? Waktu kami, ya Romo Paroki MBK, Romo Yudi. Sungguh, saya deg-deg an waktu penyidikan Kanonik itu. Kalau ditanya ayat-ayat Alkitab gimana ini? Kalau ditanya penciptaan langit dan bumi? Ditanyain materi kursus kemarin? Kalau saya ndak bisa jawab? Wadoooooh, bisa-bisa ndak lulus saya, ndak jadi kahwin bijimana????
Ternyata saya ditanyakan hal-hal umum terkait kesiapan mental dan fisik, kesehatan saya dan calon suami, ya, yang umumlah macam; mau keluarga seperti apa yang dibina? Mau punya anak berapa nanti? Ngasuh sendiri apa pake baby sitter apa malah titip mertua? Nanti tinggal di mana? Kira-kira demikian. Dan ada 1 pertanyaan yang diulang-ulang sama Romo. Baik ketika kami penyidikan berdua, atau pas diinterogasi sendiri-sendiri.
Romo: Sudah yakin kamu mau nikah sama Mas Michael ini?
Saya: Yakin Romo.
Romo: Bener?
Saya: Bener Romo.
Romo: Sungguh?
Saya: Sungguh Romo.
Romo: Ndak bakal berubah pikiran?
Saya: Endak Romo.
Romo: Bener?
Saya: Bener Romo.
Romo: Seumur hidup loh.
Saya: Iya Romo.
Romo: Yakin?
Saya: Yakin Romo.
Romo: Bener?
Saya: (Aaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkk... pengen jadi HULK biar bisa tak bolak-balik meja Romoneeeee!!!)
Ya, pada akhirnya kami berdua dinyatakan lulus. Hore! Lah, memangnya ada yang gak lulus Kanonik? Woe, ada loh. Makanya saya girang ketika kami berdua dinyatakan lulus.
3. Pengumuman
Yoyoi pengumuman, dilakukan 4 minggu sebelum tanggal pemberkatan. Untuk melihat apakah ada kemungkinan halangan, perubahan, penundaan atau malah pembatalan karena ternyata ada pihak yang kurang setuju atau karena hal lainnya. Makanya di tiap pengumuman pernikahan selalu ada himbauan, "Bagi umat yang mengetahui adanya halangan pernikahan bagi calon mempelai harap memberitahu Pastor Paroki". Jadi, ndak ada ceritanya nanti di tengah pemberkatan ujug-ujug ada manusia entah dari mana yang berteriak dengan dramatis..
"HENTIKAN PERNIKAHAN INI!"
Gak laku! Paling cuma ditatap dengan tatapan "Ini bocah ngapa yak?" Ngapa gak ngomong dari kemarin-kemarin? Gitu.
4. Pemberkatan
Dalam pemberkatan perkawinan entah ibadat atau misa, dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki ini saling menerimakan sakramen perkawinan. Jadi bukan Romo atau Uskup atau bahkan Bapa Paus yang memberikan sakramen seperti sakramen-sakramen Katolik lainnya, melainkan calon pasutri ini yang SALING menerimakan. Jadi bisa dibayangkan betapa luhur dan sucinya sakramen perkawinan itu? Karena kami saling menerimakan sakramen. O iya, sakramen perkawinan itu apa sih, Nyai?
Sakramen Perkawinan (KGK 1601-1666)
Sebagian besar orang dipanggil untuk kehidupan berumah tangga. Melalui Sakramen Perkawinan, Tuhan memberikan rahmat yang khusus kepada pasangan yang menikah untuk menghadapi bermacam tantangan yang mungkin timbul, terutama sehubungan dengan membesarkan anak-anak dan mendidik mereka untuk menjadi para pengikut Kristus yang sejati.
Dalam sakramen Perkawinan terdapat tiga pihak yang dilibatkan, yaitu mempelai pria, mempelai wanita dan Allah sendiri. Ketika kedua mempelai menerimakan sakramen Perkawinan, Tuhan berada di tengah mereka, menjadi saksi dan memberkati mereka. Allah menjadi saksi melalui perantaraan imam, atau diakon, yang berdiri sebagai saksi dari pihak Gereja.
Sakramen Perkawinan adalah kesatuan kudus antara suami dan istri yang menjadi tanda yang hidup tentang hubungan Kristus dengan GerejaNya (Ef 2:21-33). Karenanya, perkawinan sakramental Katolik adalah sesuatu yang tetap dan tak terceraikan, kecuali oleh maut (Mrk 10:1-2, Rom 7:2-3, 1Kor 7:10-11).
Taaaah.
Demikian kira-kira.
Kalau saya ditanya bagian mana yang selalu saya sukai dalam suatu pemberkatan perkawinan?
Ya tentu saja bagian pengucapan janji. Uhuy!

Saya dan suami saling berjanji, di hadapan Tuhan, di hadapan Imam, orang tua, keluarga, dan umat yang hadir, bahwa kami sudah berjanji untuk menjadi suami/istri dari pasangan kami. Kami berjanji untuk setia dalam kondisi apapun. Ingat ya, apapun! Kami berjanji untuk selalu bersama sampai mawut, eh SAMPAI MAUT MEMISAHKAN! Makanya waktu mempersiapkan pernikahan ini kok berasa rempongnya banget-banget dah. Mengurus kursus sampai pemberkatan rempong gak sekali jadi, resepsi apalagi. Tapi, setelah memahami maknanya, saya mengerti kerempongan ini bertujuan mulia, supaya kami benar-benar siap jasmani dan rohani, yakin, setia sama 1 orang saja dan bisa bersama sampai dipisahkan oleh ajal, tidak ada alasan apapun untuk berpisah. Bahwa esensi pernikahan yang sesungguhnya adalah hadirnya Tuhan ketika kami saling mengucap janji ke pasangan kami masing-masing (ngucap janji ke pasangan ya, bukan ke teks, yo mlirik dikit tak apalah kalau lupa. Karena kamu berjanji untuk pasanganmu, bukan teksmu maka TATAPLAH MATA PASANGANMU!). Welok!.
Dan ketika mendengar tadi mempelai saling mengucap janji di depan altar, saya kok ya mau lagi ya?
Piye iki suamij?
Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena
itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Matius
19:6).
Cicilia Y.S.
mantap Pak Bu!
BalasHapusWoh. Ya pastilaaaah!
Hapus