Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Jakarta, 15 Juli 2015
Terminal 1C Bandara Soekarno Hatta.
Nama saya Cicilia. Status percintaan terakhir: punya pacar. Status pendidikan terakhir: Sarjana Farmasi, plus Apoteker. Status pekerjaan sekarang: karyawati di sebuah perusahaan farmasi, di Jakarta.
Apa yang mau saya tulis kali ini berawal dari apa ya... Ironi? Terhadap apa? Terhadap selebrasi yang menurut saya (sorry to say) berlebihan. Yap. Berlebihan.
Belakangan ini, saya lihat di sosial media, sebuah tren baru di kalangan mahasiswa yang baru kelar pendadaran: foto dengan selempang bertuliskan gelar, foto dengan umbul-umbul bertuliskan gelar, foto dengan apapun yang dibuat semencolok mungkin buat menunjukkan bahwa ada yang sudah sarjana. Lebay bener! Aslik! Pendadaran apa ikutan miss yunipers??
Anggaplah saya iri. Anggaplah saya nyinyir. Sungguh, anggap saya demikian. Saya persilakan. Melihat ke masa-masa jahiliyah, kakak tingkat saya, teman-teman saya, abang-abang saya, saya, adik tingkat (beberapa di bawah saya), abis pendadaran tuh pada foto? Iyalah, pasti. Tapi gak alay. Malah ada yang kelar pendadaran terus langsung pulang, gak foto-foto dulu. Ada? Adaaaaaa... Dan asesoris paling keren buat teman foto itu adalah: Naskah yang diperjuangkan di ruang pendadaran. Itu saja? Yes, exactly, itu saja. Ada yang syukuran pake tumpeng, lalu foto bersama teman-teman seperjuangan. Sudah! Kalau di fakultas saya dulu, kelar ujian tertutup itu belum apa-apa. Masih seujung kuku. Kelar ujian terbuka pun, belum merasa sah jadi sarjana, setelah yudisium, baru deh perjalanan panjang itu seolah selesai.
Enggak, saya gak nyindir kok. Eh, iya, saya nyindir, tapi dikit sih.. Saya mau bilang, selebrasilah, tapi gak usah berlebihan. Situ udah pendadaran? Terus, saya harus manjat Monas sambil kayang, gitu? Apa saya harus ngelap Jam Gadang sambil ngomong "Pucuuuk.. pucuuuk...", gitu?Memang kok yang namanya nyusun skripsi itu perjuangan. Memang yang namanya pendadaran itu butuh persiapan yang gak sebentar. Saya tahu rasanya. Sungguh. Memang kok, punya gelar itu suatu kebanggan. Betul, ada jaminan hidup yang lebih baik kalau punya pendidikan tinggi. Tapi perayaan dan syukur dalam kesederhanaan itu lebih berkesan.
Habis pendadaran itu, revisi dulu, yudisium dulu, wisuda dulu, terus mulai cari kerja, apa lanjut sekolah lagi, apa nikah, gitu. Perayaan habis pendadaran itu semu brader.
Ingat, punya gelar sarjana pun bukan jaminan. Dengan jadi sarjana artinya ada hidup 'enak' yang ditinggalkan. Dengan jadi sarjana, lulus dari kampus, ada dunia baru yang harus dihadapi dan ditaklukkan. Perjuangan menyusun skripsi mendadak "nothing", gak ada apa-apanya. Dan dunia itu, tidak bisa ditaklukkan hanya dengan umbul-umbul bertuliskan gelar. Dunia itu jauh lebih keras dan gelar seolah hanya tempelan kalau gak bisa mengaplikasikannya. Yang udah sah gelar sarjananya aja ngesot-ngesot. Fyuuuh... lah yang baru kelar pendadaran tu pada ngapaiiiin malah pesta-pesti ala kontes kecantikan.
Saya enggak nakut-nakutin atau skeptis pada para calon sarjana muda.
Saya cuma mau ingatkan, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Selebrasi boleh, tapi biasa ajalah. Tindakan nyata itu lebih luar biasa.
Dunia gak butuh selempang, umbul-umbul, balon, apapun yang bertuliskan gelarmu. Dunia bahkan gak butuh ijazahmu.
Dunia butuh AKSI NYATAMU.
So, kalau situ udah pendadaran, terus kenapa?
_Cicilia_
Komentar
Posting Komentar