Jakarta, 10 Agustus 2014
Sudah seminggu sejak saya kembali dari tanah kelahiran saya, Bukittinggi.
Saya gak akan bohong, saya masih sangat ingin di rumah. 10 hari rasanya kurang banget, mengingat saya sudah merantau dari umur 15 tahun lebih beberapa hari sampai sekarang, di usia saya yang hampir seperempat abad.
Apa soal? Saya harus melanjutkan pendidikan. Bukan berarti saya bilang di Bukittinggi gak ada sekolah yang bagus, ya... Ada, tapi kami, sudah menentukan pilihan. Dan inilah pilihan itu, menjalaninya dengan risiko, jauh dari orang tua.
Iya, betul, teknologi sudah sangat canggih, bahkan di tahun 2005, sekalipun ponsel belum booming-booming amat, email masih untuk kalangan kantoran, apalagi internet masi sebatas di warnet saja.
Saya ingat betul bulan-bulan terakhir saya masih menggunakan IKABE nomor 18 untuk pulang, diteruskan dengan jalan kaki untuk sampai ke rumah, rasanya, saya bahagia. Betul, saya bahagia. Kenapa? Karena saya tahu, tak berapa lama lagi saya akan ada di pulau seberang, sekolah, pergi dari rumah, tanpa saya tahu, betapa beratnya hidup sebagai perantau itu.
Sekarang, setelah 9 tahun hidup merantau, saya masih belum bisa move on, saya sungguh butuh suasana rumah, dan tentu saja, kedua orang tua saya.
Saya gak tahu gimana perasaan mereka saat pulang ke rumah, dan mendapati rumah selalu dalam keadaan kosong. Saya gak tahu setegar apa mereka saat mengiyakan kami untuk pergi. Saya gak tahu gimana perasaan mereka tiap kali makan cuma berdua saja. Saya gak tahu apa rasanya punya 4 anak, tapi gak ada 1 pun yang tinggal seatap lagi dengan mereka. Saya gak tahu, saya belum tahu seperti apa rasanya.
Tapi saya tahu rasanya, kembali ke kos, dengan entah siapa yang ada di kamar-kamar lainnya. Kosong banget.
Sepuluh hari kemarin rasanya kurang untuk menebus berbulan-bulan tidak bersua dengan mereka. Betapa riuhnya rumah saat kami kembali, dan betapa senyapnya rumah saat kami pergi. Ada rasa bersalah kalau ingat dulu saya sempat beberapa kali tidak menelepon orang tua saya balik karena tidak ingin diganggu. Saya gak tahu, kalau mungkin saat itu mereka sedang khawatir, rindu, atau sekedar ingin mendengar suara anak-anaknya. Hmmm... Memang sih, ada beberapa saat di mana mereka agak berlebihan, tapi, ya... menurut saya itu sangat wajar. Kami jauh. Dengan apalagi orang tua kami memantau kami, mengetahui kabar kami, kalau tidak dengan menelepon kami, sekalipun itu di jam sibuk?
Saya masih ingin di rumah...
Saya ingin berlama-lama sama orang tua saya...
Saya masih rindu...
Apa artinya bicara berjam-jam di telepon tanpa bertatap mata sama mereka?
Apa artinya saya bisa main ke sana kemari tapi gak sama mereka?
Maka dari itu, saya hanya bisa berusaha, bahwa tiap kali saya punya libur panjang, saya akan pulang ke rumah. Apapun yang terjadi!
Yaaaah... Pilihan yang diambil memang selalu dibarengi dengan risiko...
Ini pilihan saya...
Dan inilah risiko dari pilihan saya...
Semoga semua tidak sia-sia...
Amin...
_cicilia_
Komentar
Posting Komentar