Jakarta, 6 April 2014
Hai semuanya... Rasanya sudah bertahun-tahun blog saya ini tidak saya tulisi. Sibuk? Ah, alibi itu. Malas mungkin lebih tepatnya... Plus, pulsa modem yang sirna sekejap mata.
Oke, saya menulis blog kali ini semata-mata karena gonduk dan saya tidak tahu mau menumpahkannya ke mana. Dan sebagai informasi, saya pernah menulis di blog ini dengan tema yang serupa.
Ini adalah bulan ke 6 saya ada di Jakarta sebagai buruh pabrik kuali (hanya kiasan, tapi memang saya masih berstatus buruh). Selama 6 bulan ini, belum pernah 1 misa mingguan pun saya lewatkan (dan untuk seterusnya, jangan sampai ada yang missed). Menjadi warga Jakarta bukanlah mimpi saya. Kota ini terlalu crowded, terlalu egois, dan yang jelas, saya tidak mau beranak-pinak di sini. Memang, masih banyak orang baik di Jakarta, tapi bukan itu yang hendak saya ceritakan.
Selama saya di sini, ada 3 gereja yang pernah saya datangi untuk misa; Kristus Salvator Slipi ,Maria Kusuma Karmel Meruya, dan Maria Bunda Karmel Tomang. Untuk gereja yang terakhir, adalah gereja yang paling sering saya datangi untuk bertemu Tuhan, seminggu sekali, dan biasanya sendiri (nasiiibb...). Entah kenapa, saya suka dengan gereja ini, terlepas dari besarnya bangunan gereja ini, tapi yang jelas, saya merasa nyaman saat beribadah di gereja ini. Itu yang penting. Tapi, sesempurna apapun gerejanya, sesigap apapun petugasnya, seindah apapun koor pengiringnya, kalau hati tak tertuju pada Tuhan, apalah gunanya.
Setiap orang punya gadget bagus sekarang. Android, BB, Iphone, semua orang punya salah satunya, atau malah semuanya. Dan di dalamnya pasti ada fitur-fitur sosmed sebangsa Facebook, Twitter, Path, WhatsApp, Line, dan lain-lain yang menurut saya anggotanya juga isinya ya itu-itu saja. Yang mau saya bilang adalah, semua fitur itu berfungsi sebagai penghubung kita dengan yang lain. Teman, keluarga, pacar, selingkuhan mungkin, kolega, siapapun. Dan menurut saya, tidaklah bijak mengakses semuanya saat misa berlangsung.
Misa, yang saya percayai, dimulai ketika seseorang berdoa pertama kali setelah duduk. Itulah, saat di mana Anda memutuskan untuk mengesampingkan semuanya dan mencurahkan hati, pikiran, waktu hanya untuk Tuhan. Sekali lagi, itu yang saya percayai. Silahkan dibenarkan kalau saya salah. Maka, ketika Anda sudah berdoa, berarti Anda sudah memutuskan untuk fokus. Cuma 1,5 jam. Apalah artinya? Itu hanya 6,25% dari seharian penuh. Anda masih punya banyak waktu untuk mengakses semuanya. Bukan bermaksud meremehkan, tapi... saya yakin, update-an di setiap media sosial pada hari Minggu tidaklah urgent. Karena kalaupun urgent, mending telepon kan...?

Dua minggu terakhir yang saya lihat adalah, tidak tua, muda, remaja, semua sibuk memainkan ponselnya bahkan selama misa berlangsung. Malahan tadi, seorang pria yang di barisan saya asyik mengakses Path saat Romo sedang memberikan katekese 2 menit di akhir misa. Ini sudah di akhir misa, yang berarti sebentar lagi selesai, mbok sabar. Saya penasaran, ada apa sih di tiap media sosial itu, di tiap gadget itu (minggu lalu, pas baru masuk gereja, kayaknya saya lihat sepasang muda-mudi asik main HayDay sambil cekikikan)? Apakah sekarang gadget yang mengontrol manusia? Apakah misa sedemikian hanya bentuk formalitas dan (maaf) Tuhan diduakan dengan teknologi? Apakah, tidak ada lagi manusia yang mau memusatkan perhatiannya sejenak untuk Tuhan? Hanya seminggu sekali, dan kita masih tidak bisa lepas dari kefanaan?
Saya hanya ingin tetap bertahan dengan idealisme saya, dan iman saya yang mungkin hanya sebesar biji sesawi. Saya mau tetap yakin dan percaya, bahwa kelak, saya akan menghadiri sebuah Perayaan Ekaristi di mana semua orang memusatkan perhatian penuh pada Tuhan, dan semua orang, termasuk saya, pantas menyambut tubuhNya...
_cicilia_
Komentar
Posting Komentar