Makan Nasi Lebih Sehat dengan SEKAI Rice Cooker Low Sugar

Gambar
Saya terakhir ketemu Budhe saya nun jauh di Jogja itu akhir tahun kemarin. Saat itu, Budhe saya yang saya ingat sangat lincah, cerewet, bugar justru tampak kurus, kuyu, lebih lesu, dan lebih banyak duduk. Saya baru tahu kalau Budhe mengidap diabetes. Entah sudah berapa lama, karena Budhe bilang kalau kakinya mulai sering kesemutan, kebas, dan kalau luka lama sekali sembuhnya. Kabar terbaru dari Ibu saya, salah satu kaki Budhe sudah dibebat perban dan mulai menghitam.   Mungkin saja, diabetes yang diderita Budhe saya itu disebabkan oleh gaya hidup. Minum teh harus manis, cemilan manis selalu ada, olahraga seminggu sekali, dan HARUS makan nasi. Kalau sehari sudah makan berat 3 kali tapi belum makan nasi, ya dianggap belum makan. Jadi tetap akan tambah lagi makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Itu yang saya ingat waktu liburan lama di sana. Sekarang Budhe sudah menjalani pengobatan, mengatur pola makan, dan menjalankan pola hidup yang lebih sehat.   Apa itu Diabetes? Diabetes ...

Apa Adanya...? Atau Seadanya...

Tadi malam saya misa di kampus. Sudah tahu lah ya, saya misa di mana... Yang ingin saya ceritakan adalah, 'penampakan menakjubakan' yang saya lihat tadi malam di misa yang saya ikuti itu. Bukaaaan... Bukan hantu atau dedemit, manusia biasa kok. Sebelum masuk ke inti cerita, ada baiknya saya membuka dengan latar belakang masalahnya dulu... Ciyeeeeeeeeee yang pernah bikin skripsi...
Bapak saya seorang aktivis gereja. Aktif pake banget! Mazmur, lektor, organis, jadi Yesus tiap Jumat Agung, persembahan, kolekte, cuma petugas parkir gereja yang enggak dijabanin sama bapak saya. Akhirnya, bapak saya jadi pro diakon dan ikut Pastor di gereja untuk membagikan komuni. Tambah lagi, bapak saya ini adalah ketua rayon (ketua lingkungan) seumur hidup di wilayah rumah saya. Beneran, dari saya belom ada di dunia, sampe sekarang saya sudah hampir 23 tahun melihat dunia, bapak saya sudah jadi ketua rayon (kayaknya). Wooooooooooowwwwwwwww.... Tiap kali pemilihan ketua rayon baru, tetap bapak saya dapat suara paling banyak. Lalu, kaitannya dengan cerita saya ini..?
Dulu, waktu semester-semester awal saya kuliah, saya pernah dimarahi sama bapak saya, "Mau misa (di gereja) kok pakai kaos? Gak ada yang lebih rapi?" Jadi, waktu itu saya pakai kaos, berkerah sih, tapi tetap saja judulnya kaos, kaos sponsor pula (Kaos Farmasi coklat yang ada tulisannya USD University, malu-maluin, untung tulisannya kecil), celana jeans, plus, sepatu cantik (cantik menurut pendapat saya pribadi). Berhubung saya cuma bawa baju rapi cuma 1 biji dan belum kering pula, saya pun terpaksa mengenakan benda itu. Melihat ke belakang, saya sadar, waktu kecil, kalau mau ke gereja kami pasti mengenakan pakaian yang "luar biasa pantas", kemeja dan celana buat abang-abang saya dan gaun atau terusan cantik buat saya. Sebagai alas kaki, kami selalu pakai sepatu. SELALU! Lengkap dengan kaus kakinya. Mulai besar dikit, SMP, saya ngeh, saya gak pernah pakai baju rapi kalau mau ketemu Tuhan, seketemunya di lemari baju saya. Bapak gak pernah komentar, mungkin maklum karena saya masih di usia labil. Kaos oblong yang lebih pantas jadi seragam olahraga pun pernah saya pakai buat ketemu Tuhan, ngelesnya adalah, 'yang penting hatinya....'.
SMA? Jangan tanya, pakai kemeja hanya kalau perayaan hari besar, tapi ya bolehlah... sekali-sekali... Kaos tetap menjadi seragam wajib saya kalau ke gereja. Alas kaki? Kadang sepatu, kadang sandal gunung, pernah sandal jepit, saking terburu-burunya mau ke gereja. Parah-parahnya berpakaian, ya pas SMA ini, parah pake banget. Sudah begitu, saya tidak pernah bawa apa-apa buat 'sangu'. Madah Bakti? Boro-boro... cuma bawa HP dan uang seperlunya buat kolekte. Saya sadar, keterlaluan banget saya. Tapi, saya masih tergolong rajin ke gereja. Tidak pernah bolos, sungguh.
Masuk universitas, saya masih sesekali pakai baju berkerah, sampai bapak saya menegur saya demikian. Mengingat track record berpakaian saya yang sangat 'luar biasa', saya bisa bilang kalau saya ini tidak pernah persiapan kalau ke gereja. Pakaian yang ada di posisi paling atas di lemari, itulah yang akan saya kenakan ke gereja, sekalipun kadang-kadang baju itu saya pakai main, olahraga, TIDUR... Agak keterlaluan memang, tapi itu jadi bahan permenungan saya. Jadi, ada 4 orang yang membuat saya mengubah cara pandang saya terhadap busana pantas: Mamak dan Bapak (jelas), bapak pemilik warung masakan Bali di Paingan, dan teman PKPA saya di Surabaya, sebut saya namanya Egin.
Persamaan ke-4 orang ini adalah, mereka sama-sama berpendapat bahwa pakaian untuk menghadap Tuhan itu hendaklah dipisahkan dari pakaian sehari-hari. Mereka semua berprinsip; masak baju main sama dengan baju buat ketemu Tuhan? Plaaaaaakkk... Iya ya, itu yang saya lakukan selama ini. Baju kuliah, baju main, kadang saya gunakan untuk ke gereja. Rapi sih, nyaman sih... Tapi apa pantas...?
Perlahan-lahan, saya mulai mengubah cara berpakaian saya, walaupun belum bisa untuk memisahkan betul-betul mana baju buat kuliah, mana baju buat nanti PKL, mana baju buat ke gereja. Saya mencoba rapi, sekalipun masih berjuang supaya mau pakai rok untuk ke gereja. Saya mulai risih kalau ada yang ke gereja dengan pakaian yang belom selesai (tidak berlengan), atau berkaos oblong, atau bersandal jepit (ya... walaupun merknya converse), atau pakaiannya yang terlalu mini. Dan apa yang saya lihat tadi malam itu, gak tahu ya, menurut saya itu keterlaluan. Ada 2 orang yang jadi bahan 'gunjingan' saya tadi malam, cewek dan cowok (ketahuan gak konsen misanya). Memang, kami tidak misa di gereja, melainkan di Ground gedung induk, tapi ya masak pakai kaus Bali buat misa? Kaus seperti itu kan buat dolan di pantai, buat bobok, paling ter'hormat' buat jejingkrakan pas PP (kelas guwe banget...). Sementara yang cowok, sudahlah pakai kaos oblong, pakai celana pendek pula! Romo saja pakai jubah, panas-panasan.
Saya memang tidak tahu kriteria pakaian yang pantas dikenakan untuk bertemu Tuhan, tapi saya yakin, Anda yang membaca tulisan saya ini sebenarnya tahu betul mana pakaian yang pantas dikenakan untuk bertemu Tuhan, mana yang tidak. Tuhan tidak mengukur kesiapan hati kita dari pakaian yang kita kenakan. Kita semua diundang. Memang hati kita yang penting sebagai modal untuk bertemu denganNya. Tapi, dengan berpakaian yang lebih layak (bukan kaos obolong, celana pendek, sandal jepit, baju belum selesai), saya rasa hati kita pun bisa lebih siap dan setidaknya kita merasa PANTAS untuk datang ke pesta perjamuanNya.
"Ketika raja itu masuk untuk bertemu dengan tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta. Ia berkata kepadanya :Hai saudara, bagaimana engkau masuk kemari dengan tidak mengenakan pakaian pesta? Tetapi orang itu diam saja. Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.
Karena banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih." (Matius 22: 11-14).

Yuk, jadi bagian "sedikit yang dipilih" itu..


_cici_

Komentar

  1. Nice post..

    Dari dulu udah diajarin WAJIB pake kemeja sih kalau ke gereja. Agak longgar waktu kuliah, mulai pake kaos beberapa kali. Sekarang? Batik dong :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Lagu Untuk Sakramen Perkawinan

Wednesday: A Child That Full of Woe

Alasan Saya Tidak Suka Nonton (Bukan) Empat Mata