Mungkin kalau membaca
judulnya ini agak berlebihan; Belajar Menjadi Ibu. Jangan mikir negative dulu,
ya. Menjadi ibu di sini, bukan dalam arti pake hamil dulu, karena saya maunya
disahkan dulu di depan Tuhan, orang tua, dan Negara baru tancap gas! *Plok plok
plok plok…. Menjadi ibu di sini adalah menjadi wali buat adek saya, si bungsu
dalam keluarga yang ‘terpaksa’ pindah sekolah. Kondisi ini menuntut adanya
seorang wali, ya iya lah, Mak sama Bapak kami ada di Sumatera sono, sementara
kami mengeram di Jogja. Jadilah, saya ditunjuk menjadi wali. Nggak main-main,
disahkan secara hukum oleh seorang notaris, yang kalau diturut berdasarkan
marga atau apapun adalah Paktuo saya.

Selama mengurus kepindahan
adik saya yang sungguh menguras emosi, bensin, tenaga, duit (jelassss…), fokus,
dan konsentrasi, saya pun berjanji: kalau besok saya punya anak, saya akan
berusaha supaya dia nggak pake acara pindah sekolah, unless… TERPAKSA pindah
sekolah (dengan alasan baik-baik). Yang bikin agak berat (maap lo, Dek) itu
adalah jarak kos-an saya dengan sekolahan baru dia itu yang lumayanlah.
Untungnya, SMA saya dulu ya di dekat-dekat situ, jadi urusan jalan, belokan,
simpang, bahkan jalan tikus, tahu lah. Selama mengurus itu, saya sadar, saya
nggak mungkin ngurusin sendirian karena semua pake duit sekarang. Ada biaya
yang harus dibayarkan dengan label “Saat itu juga” minimal 50% (sial! 50% tuh
minimal!). Alasan itu yang membuat salah satu orang tua saya, My Super Mom,
datang sendirian ke Jogja. Sedap! Jadilah kamar kos saya rame luar biasa.
Selain berisi saya dan barang-barang saya yang sudah luar biasa banyak (plus 1
kardus milik oknum yang pura-pura lupa udah nitip), ditambah barang-barang adek
saya karena dia gak hanya berjudul pindah sekolah, tapi juga pindah tempat
tinggal, barang-barang bawaan Mamak turut andil dalam memenuhi kamar saya
dengan ukuran 3x4 itu.
Kehadiran Mamak ibarat
mata air di padang gurun yang panas dan gersang. Tahu kan maksud saya…
*Ting..ting..ting… Judul anak kos membuat saya sudah hampir kehabisan dana
menuju akhir bulan, dan Puji Tuhan… Mamak datang, membawa angin segar (halah!).
Intinya, makan terjamin selama ada Mamak di Jogja. Selain itu, Mamak membantu
saya merapikan kamar dan membuatnya menjadi sedikit lebih luas. Hahahahahahaha…
Bahagia itu memang sederhana. Mamak suka cerita, gimana selama Mamak dan Bapak
di rumah, suka kepikiran kami tiba-tiba, kami makan gak, sehat gak, aman gak…?
Jujur, itu hampir membuat saya nangis, karena Mamak cerita pun dengan mata
berkaca-kaca. Ini yang membuat saya bertekad untuk tidak mengecewakan mereka
dan ingin membahagiakan mereka di hari tua mereka nanti (AMIIIIIINNNNNN!!!!).
Mamak juga cerita, gimana kalau ditanya, Mamak dengan bangganya menjawab kalau
anak-anaknya sekolah di Jogja, di sekolah dan di fakultas yang favorit, dan
aktif di kampus, punya nama lah ceritanya. Selain itu Mamak cerita tentang
sehari-hari di kantor guru, di sekolah, sehari-hari di rumah, yang mana Mamak sekarang
suka merotasi lokasi tidur, kadang di kamarku, kadang di kamar adek, kadang di
kamar mereka sendiri. Supaya terpakai,
alasan Mamak waktu kutanya buat apa. Iya juga sih, secara ada 3 kamar tidur di
sana dan yang benar-benar terpakai hanya kamar Mamak dan Bapak saja. Tapi, walaupun
2 kamar yang lain kosong, kondisinya tetap kayak ada yang memakainya, rapi,
bersih, We O We pokoknya! Mamak saya…(entah kenapa, bakat bersih-bersih itu gak
nurun ke saya).
Begitu Mamak pulang karena
urusan birokrasi dan lain-lain sudah tinggal menyelesaikan
pritilan-pritilannya, tinggalah kami kembali menjadi anak kos. Sepi juga,
soalnya pas ada Mamak, ada ajaaaa yang diceritain. Hahahaha.. *menyusut air
mata. Saya dan adek saya tinggal berdua lagi, soalnya adek saya belum jatahnya
masuk kos baru. Maka, menunggu hari mengantarkan dia ke kos, dia tinggal sama
saya, ke mana-mana sama saya (ya iya, yang bawa motor kan saya.
Wahahahahaha..), makan saya yang bayarin (Asem!), dan yang terpenting,
menuntaskan prosedur kepindahannya itu. Waktu akhirnya saya mengantar dia ke
kos dan meninggalkannya di sana, baru deh, berasa nggak tega-nya. Tapi kalau
nggak tega terus, dia gak bakalan bisa mandiri dong. Malemnya saya kepikiran,
ini anak makan gak ya, duitnya masih ada gak ya, betah gak ya, dan lain-lain,
dan lain-lain, dan lain-lain. Sekarang saya (mungkin) bisa merasakan apa yang
dirasakan Mamak saya selama ini. Walaupun masih 1 kota, tapi kondisi di mana
gak bisa memantau langsung itu lo yang bikin jadi suka kepikiran. Semoga saja,
dengan jadi wali buat adek saya ini, saya belajar juga kalau jadi orang tua itu
nggak semudah kelihatannya. Kita harus bisa jadi jagoan dan membela sekalipun
yang dibela juga ada salah, harus tegas walaupun sebenarnya nggak tega, harus
tegar walaupun sebenarnya di dalam hati sedih luar biasa, harus mengorbankan
banyak hal demi menuntaskan sesuatu, dan harus berani mendahulukan kepentingan
dia di atas kepentingan kita sendiri. Sepakat!
Yogyakarta, 13 Juli 2012
_cici_
Komentar
Posting Komentar